CINTAILAH BAHASA INDONESIA
BUKU PANDUAN MENGAJAR
MATA KULIAH: BAHASA INDONESIA
OLEH:
SRI HARYATMO
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009
BAB I
EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN
DAN PENERAPANNYA
1. Pengertian Ejaan
Ejaan ialah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang distandardisasikan. Lazimnya, ejaan mempunyai tiga aspek, yakni aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad aspek morfologi yang menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis dan aspek sintaksis yang menyangkut penanda ujaran tanda baca (Badudu, 1984:7). Keraf (1988:51) mengatakan bahwa ejaan ialah keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran dan bagaimana interrelasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa. Adapun menurut KBBI (1993:250) ejaan ialah kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa ejaan adalah seperangkat kaidah tulis-menulis yang meliputi kaidah penulisan huruf, kata, dan tanda baca.
1.2 Beberapa Ejaan Resmi yang Pernah Berlaku di Indonesia
Sampai saat ini dalam bahasa Indonesia telah dikenal tiga nama ejaan yang pernah berlaku. Ketiga ejaan yang pernah ada dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Ejaan van Ophuysen
2. Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi
3. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Sebagaimana yang telah umum diketahui, Ejaan van Ophuysen -- sesuai dengan namanya -- diprakarsai oleh Ch. A. van Ophuysen, seorang berkebangsaan Belanda. Ejaan ini mulai diberlakukan sejak 1901 hingga munculnya Ejaan Soewandi. Ejaan van Ophuysen ini merupakan ejaan yang pertama kali berlaku dalam bahasa Indonesia yang ketika itu masih bernama bahasa Melayu.
Sebelum ada ejaan tersebut, para penulis menggunakan aturan sendiri-sendiri di dalam menuliskan huruf, kata, atau kalimat. Oleh karena itu, dapat dipahami jika tulisan mereka cukup bervariasi. Akibatnya, tulisan-tulisan mereka itu sering sulit dipahami. Kenyataan itu terjadi karena belum ada ejaan yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam penulisan. Dengan demikian, ditetapkannya Ejaan van Ophuyson merupakan hal yang sangat bermanfaat pada masa itu.
Setelah negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk dan diproklamasikan menjadi negara yang berdaulat, para ahli bahasa merasa perlu menyusun ejaan lagi karena tidak puas dengan ejaan yang sudah ada. Ejaan baru yang disusun itu selesai pada tahun 1947, dan pada tanggal 19 Maret tahun itu juga diresmikan oleh Mr. Soewandi selaku Menteri PP&K (Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan). Ejaan baru itu disebut Ejaan Republik dan dikenal juga dengan nama Ejaan Soewandi.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia, kian hari dirasakan bahwa Ejaan Soewandi perlu lebih disempurnakan lagi. Karena itu, dibentuklah tim untuk menyempurnakan ejaan tersebut. Pada tahun 1972 ejaan itu selesai dan pemakaiannya diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1972 dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD).
1.3 Pemakaian Huruf
Pemakaian huruf dalam ejaan menyangkut dua hal, yaitu pemakaian huruf kapital atau huruf besar dan pemakaian huruf miring.
(a) Pemakaian Huruf Kapital
Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat dan petikan langsung.
Misalnya:
(1) Anak saya sedang bermain di halaman.
(2) Apa maksudnya?
(3) Pimpinan kami berkata, “Masalah ini memang sangat kompleks.”
(4) Bapak menasihatkan, “Berhati-hatilah, Nak!”
Huruf kapital juga digunakan sebagai huruf pertama pada hal-hal berikut.
1) Ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
Contoh: Allah, Yang Maha Pengasih, Alkitab, Quran, Weda, Islam, Kristen
Tuhan akan menunjukkan jalan yang benar kepada hamba-Nya.
Bimbinglah hamba-Mu ya Tuhan.
2) Nama gelar kehormatan dan keagamaan yang diikuti nama orang beserta unsur nama jabatan dan pangkat.
Misalnya:
Mahaputra Yamin, Raden Ajeng Kartini, Nabi Ibrahim, Presiden Megawati, Jenderal Sutjipto, Haji Agus Salim
3) Nama orang, nama bangsa, suku bangsa, bahasa, dan nama tahun, bulan, hari, hari raya, peristiwa sejarah, serta nama-nama geografi.
Misalnya:
Hariyati Wijaya
suku Jawa
bahasa Indonesia
tahun Masehi
bulan November
hari Kamis
hari Natal
Perang Salib
Nusa Tenggara
4) Unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, dokumen resmi, serta nama buku, majalah, dan surat kabar.
Contoh:
Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Undang-Undang Dasar 1945
Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.
Dia adalah agen surat kabar Sinar Pembangunan.
Tulisannya dimuat di harian Kompas.
5) Unsur singkatan nama gelar, pangkat, sapaan, dan nama kekerabatan yang dipakai sebagai sapaan. Contoh:
S.S. (sarjana sastra)
Prof. (profesor)
Ny. (nyonya)
“Namamu siapa, Nak?” tanya Pak Lurah.
Surat Saudara sudah saya terima.
Di samping yang telah disebutkan di atas, huruf kapital juga digunakan sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
Sehubungan dengan penulisan karya tulis, judul karya tulis, baik yang berupa laporan, makalah, skripsi, disertasi, kertas kerja, maupun jenis karya tulis yang lain, seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Selain itu, huruf kapital seluruhnya juga digunakan dalam penulisan hal-hal berikut:
(1) judul kata pengantar atau prakata;
(2) judul daftar isi;
(3) judul grafik, tabel, bagan, peta, gambar, berikut judul daftarnya masing-masing;
(4) judul daftar pustaka;
(5) judul lampiran.
Dalam hubungan itu, judul-judul subbab atau bagian bab huruf pertama setiap unsurnya juga ditulis dengan huruf kapital, kecuali yang berupa kata depan dan partikel seperti, dengan, dan, di, untuk, pada, kepada, yang, dalam, dan sebagai.
(b) Pemakaian Huruf Miring atau Garis Bawah
Huruf miring (dalam cetakan) atau tanda garis bawah (pada tulisan tangan/ketikan) digunakan untuk menandai judul buku, nama majalah, dan surat kabar yang dipakai dalam kalimat.
Contoh:
(1) Masalah itu sudah dibahas Sutan Takdir Alisjabana dalam bukunya yang berjudul Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia.
(2) Tulisannya pernah dimuat dalam majalah Kartini.
(3) Harian Kompas termasuk salah satu surat kabar yang terkemuka di Indonesia.
Berbeda dengan itu, judul artikel, judul syair, judul karangan dalam sebuah buku (bunga rampai), dan judul karangan atau naskah yang belum diterbitkan, penulisannya tidak menggunakan huruf miring, tetapi menggunakan tanda petik sebelum dan sesudahnya. Dengan kata lain, penulisan judul-judul itu diapit dengat tanda petik. Contoh:
(4) Tulisan Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Bahasa Indonesia dalam Bacaan Anak-Anak” pernah dimuat dalam majalah Bahasa dan Sastra.
(5) Sajak “Aku” dikarang oleh Chairil Anwar.
(6) Bacalah “Diksi atau Pilihan Kata” dalam buku Kembara Bahasa.
Huruf miring digunakan pula untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata.
Misalnya:
(7) Huruf t sebagai huruf pertama kata Tuhan harus ditulis dengan huruf kapital.
(8) Akhiran –an pada kata kubangan berarti ‘tempat’.
(9) Pekerjaan ini harus Saudara selesaikan secepatnya.
Sesuai dengan kaidah, kata-kata asing yang ejaannya belum disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia atau kata-kata asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia juga harus ditulis dengan huruf miring jika digunakan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kata go public, devide et impera, dan sophisticated pada contoh berikut.
(10) Dewasa ini banyak perusahaan yang go public.
(11) Politik devide et impera pernah digunakana Belanda untuk memecah-belah bangsa Indonesia.
(12) Kata asing sophisticated berpadanan dengan kata Indonesia canggih.
Berbeda dengan itu, kata-kata serapan seperti sistem, struktur, efektif, dan efisien tidak ditulis dengan huruf miring karena ejaan kata-kata itu telah disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, kata-kata serapan semacam itu telah diperlakukan seperti halnya kata-kata asli bahasa Indonesia.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, banyak pula dikenal nama-nama ilmiah yang semula berasal dari bahasa asing. Salah satu di antaranya adalah Carcinia mangostana, yakni nama ilmiah untuk buah manggis. Nama-nama ilmiah semacam itu jika digunakan dalam bahasa Indonesia juga ditulis dengan huruf miring karena ejaannya masih menggunakan ejaan bahasa asing.
Misalnya:
(13) Manggis atau Carcinia mangostana banyak terdapat di pulau Jawa.
Pada nama-nama ilmiah semacam itu huruf kapital hanya digunakan pada unsur yang pertama, sedangkan unsur selebihnya tetap ditulis dengan huruf kecil.
1.4 Penulisan Gabungan Kata
Gabungan kata atau yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah.
Misalnya:
Baku Tidak Baku
tanda tangan tandatangan
tanggung jawab tanggungjawab
terima kasih terimakasih
kerja sama kerjasama
peran serta peranserta
rumah sakit rumahsakit
kereta api keretaapi
Berbeda dengan itu, gabungan kata yang maknanya sudah dianggap padu unsur-unsurnya ditulis serangkai. Beberapa contohnya dapat diperhatikan pada daftar berikut.
Baku Tidak Baku
acapkali acap kali
daripada dari pada
kilogram kilo gram
matahari mata hari
kacamata kaca mata
peribahasa peri bahasa
Gabungan kata lain yang salah satu unsurnya berupa unsur terikat ditulis serangkai. Unsur terikat yang dimaksud, misalnya, pasca-, antar-, panca-, nara-, dan pramu-. Beberapa contoh penulisannya dapat diperhatikan di bawah ini.
Unsur Terikat Baku Tidak Baku
pasca- pascaperang pasca perang
pascasarjana pasca sarjana
antar- antarkota antar kota
antardaerah antar daerah
panca- pancaindera panca indera
pancalomba panca lomba
nara- narapidana nara pidana
narasumber nara sumber
pramu- pramuwisma pramu wisma
Kata bilangan yang berasal dari bahasa Sanskerta juga dipandang sebagai unsur yang terikat. Oleh karena itu, penulisannya pun harus diserangkaikan dengan unsur yang menyertainya.
Misalnya:
Unsur Terikat Baku Tidak Baku
dwi- dwifungsi dwi fungsi
dwiwarna dwi warna
tri- tridarma tri darma
triwulan tri wulan
catur- caturwarga catur warga
caturwulan catur wulan
sapta- saptapesona sapta pesona
saptamarga sapta marga
dasa- dasawarsa dasa warsa
dasasila dasa sila
Beberapa unsur terikat lain yang penulisannya harus diserangkaikan dengan unsur yang mengikutinya adalah a-, adi-, anti-, awa-, audio-, bi-, ekstra-, intra-, makro-, mikro-, mono-, multi-, poli-, pra-, purna-, semi-, sub-, supra-, kontra-, non-, swa-, tele-, trans-, tuna-, dan ultra-.
Dalam penulisan unsur terikat perlu dipahami bahwa unsur terikat tertentu apabila dirangkaikan dengan unsur lain yang berhuruf kapital harus diberi tanda hubung di antara kedua unsur itu.
Misalnya:
non-ASEAN, bukan non ASEAN, non ASEAN
non-Islam, bukan non Islam, nonIslam
pro-Irak, bukan pro Irak, proIrak
1.5 Penulisan Bentuk Ulang
Sejalan dengan kaidah yang berlaku sekarang, angka dua tidak digunakan sebagai penanda perulangan. Dalam penulisan bentuk ulang, bagian-bagian kata yang diulang ditulis seluruhnya secara lengkap dengan disertai tanda hubung di antara unsur-unsur yang diulang. Dengan demikian, dalam tulisan-tulisan yang bersifat resmi, seperti naskah buku, laporan penelitian, laporan kegiatan, skripsi, dan berbagai karya tulis resmi yang lain, kata ulang harus ditulis secara lengkap, tidak menggunakan angka dua.
Misalnya:
Baku Tidak Baku
macam-macam macam2
hambatan-hambatan hambatan2
Dalam hubungan itu, perlu diperhatikan bahwa angka dua sebagai penanda perulangan hanya dapat dibenarkan penggunaannya pada tulisan-tulisan tertentu yang sifatnya tidak resmi, misalnya dalam catatan pelajaran, catatan kuliah, catatan kuliah, catatan pribadi, surat pribadi, dan tulisan pribadi yang lain.
Seperti halnya bentuk ulang yang lain, bentuk ulang yang mengalami perubahan fonem pun unsur-unsurnya yang diulang ditulis seluruhnya dengan disertai tanda hubung di antara keduanya. Jadi, unsur yang diulang itu tidak ditulis dengan menggunakan angka dua ataupun ditulis tanpa menggunakan tanda hubung.
Misalnya:
Baku Tidak Baku
gerak-gerik gerak gerik
sayur-mayur sayur mayur
Sejalan dengan hal tersebut, bentuk-bentuk di bawah ini, yang lazim disebut kata ulang semu, juga ditulis secara lengkap dengan menyertakan tanda hubung.
Misalnya:
Baku Tidak Baku
kura-kura kura2, kura kura
paru-paru paru2, paru paru
1.6 Penulisan Kata Depan
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya kecuali dalam gabungan kata, seperti kepada dan daripada. Jika di dan ke berupa awalan maka ditulis serangkai dengan kata dasarnya, seperti kata dikelola dan ketujuh.
1.7 Penulisan Singkatan dan Akronim
Istliah singkatan berbeda dengan akronim. Singkatan ialah kependekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik dilafalkan huruf demi huruf maupun dilafalkan sesuai dengan bentuk lengkapnya. Beberapa singkatan yang dilafalkan huruf demi huruf dapat diperhatikan pada contoh berikut.
Singkatan Pelafalannya
SMP [es-em-pe]
UGM [u-ge-em]
DPR [de-pe-er]
KUD [ka-u-de]
Singkatan yang dilafalkan sesuai dengan bentuk lengkapnya, misalnya:
Singkatan Pelafalannya
Bpk. [bapak], bukan [be-pe-ka]
Sdr. [saudara], bukan [es-de-er]
dll. [dan lain-lain], bukan [de-el-el]
Singkatan yang berupa gabungan huruf awal suatu kata, dalam kenyataan berbahasa, sering ditulis dengan disertai tanda titik pada masing-masing hurufnya, seperti yang terdapat pada contoh berikut.
L.K.M.D. lembaga ketahanan masyarakat desa
K.B. keluarga berencana
S.D. sekolah dasar
P.T. perseroan terbatas
Penulisan singkatan itu tidak tepat karena singkatan yang berupa gabungan huruf awal suatu kata tidak diikuti tanda titik, kecuali singkatan nama gelar akademik dan singkatan nama orang. Dengan demikian, penulisan tersebut yang benar adalah LKMD, KB, SD, dan PT.
Selain singkatan umum seperti di atas, ada pula yang disebut singkatan lambang, yaitu suatu bentuk singkatan yang terdiri atas satu huruf atau lebih yang melambangkan konsep dasar ilmiah, seperti kuantitas, satuan, dan unsur.
Dalam pemakaian dan penulisannya, singkatan lambang berbeda dengan singkatan lain. Perbedaan itu tidak hanya terletak pada cara penulisannya, tetapi juga penandaannya. Dalam hal ini, penulisan dan penandaan singkatan lambang pada umumnya disesuaikan dengan peraturan internasional karena pemakaiannya pun bersifat internasional. Secara umum, singkatan lambang tidal diikuti tanda titik.
Misalnya:
Cu kuprum
Ca kalsium
m meter
cm sentimeter
kg kilogram
kVa kilovolt-ampere
TNT trinitrototuluen
Akronim ialah kependekan yang berupa gabungan hurf awal, gabungan suku kata, atau gabungan huruf awal dan suku kata, yang ditulis dan dilafalkan seperti halnya kata biasa.
Misalnya:
siskamling sistem keamanan lingkungan
tilang bukti pelanggaran
inpres instruksi presiden
Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional
Akronim siskamling, tilang dan inpres merupakan akronim umum yang bukan berupa gabungan huruf awal suatu kata atau nama diri suatu lembaga sehingga seluruhnya ditulis dengan huruf kecil. Berbeda dengan itu, Depdiknas huruf awalnya ditulis dengan huruf kapital karena merupakan akronim nama diri suatu lembaga.
Akronim lain yang berupa gabungan huruf awal suatu kata, seperti halnya singkatan yang berupa gabungan huruf awal, seluruhnya ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti tanda titik.
Misalnya:
ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
IKIP institut keguruan dan ilmu pendidikan
KONI Komite Olahraga Nasional Indonesia
PASI Persatuan Atletik Seluruh Indonesia
1.8 Penggunaan Tanda Baca
Pedoman Umum EYD mengatur pemakaian tanda-tanda baca berikut:
1) tanda titik .
2) tanda koma ,
3) tanda titik koma ;
4) tanda titik dua :
5) tanda hubung -
6) tanda pisah --
7) tanda elepsis …
8) tanda tanya ?
9) tanda seru !
10) tanda kurung ( )
11) tanda kurung siku [ ]
12) tanda petik “ “
13) tanda petik tunggal ‘ ‘
14) tanda garis miring /
15) tanda penyingkat/ apostrof ‘
Dalam kaitannya dengan penulisan ragam formal, beberapa tanda baca yang sering digunakan yaitu tanda titik, koma, titik koma, titik dua, hubung, kurung, dan garis miring,.
1. Tanda Titik
Tanda titik selain digunakan untuk mengakhiri kalimat, digunakan pula sebagai pembatas unsur-unsur dalam penulisan daftar pustaka.
Contoh:
(1) Angka pengangguran setiap tahun terus meningkat.
(2) Mustakim. 1992. Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia: untuk Umum. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tanda titik digunakan pula di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar.
Contoh:
A. Program Usaha
1. Tahap Persiapan Program
1.1 Penerimaan Warga Belajar
1.2 Pemilihan Penyelenggara
1.2.1 Musyawarah
1.2.2 Ditunjuk
2. Tahap Pelaksanaan
2.1 Waktu Pelaksanaan
2.2 Tempat
Penulisan angka yang menyatakan ‘jumlah’ juga wajib menggunakan tanda titik pada setiap bilangan ribuan dan kelipatannya.
Misalnya:
penduduknya 75.564.543 jiwa
Rp89.500,00
Penggunaan tanda titik pada setiap bilangan ribuan dan kelipatannya itu dimaksudkan untuk mempermudah penghitungan.
Berbeda dengan itu, angka yang tidak menyatakan ‘jumlah’ tidak ditulis dengan tanda titik, misalnya angka yang digunakan sebagai nomor halaman buku, nomor telepon, atau nomor induk.
Contoh:
halaman 1564
telepon 8804781
NIP 131947332
2. Tanda Koma
Tanda koma selain digunakan untuk memisahkan bagian yang satu dana bagian yang lain dalam kalimat majemuk setara, juga untuk mengapit keterangan tambahan atau keterangan penjelas, dan membatasi unsur-unsur rincian.
Contoh:
(1) Perusahaan itu belum terkenal, tetapi produksinya banyak diperlukan orang.
(2) Benazir Bhutto, mantan Perdana Menteri Pakistan, mengancam akan menggerakkan massa kembali.
(3) Barang-barang elektronik yang dipamerkan adalah radio, televisi, tape recorder, dan lain-lain.
Seperti pada contoh tersebut, kata tetapi (1), yang menandai kalimat majemuk setara, selalu didahului tanda koma. Kemudian, unsur mantan Perdana Menteri Pakistan pada kalimat (2), yang merupakan keterangan aposisi, juga diapit tanda koma seperti halnya keterangan tambahan atau keterangan penjelas. Pada kalimat (3) tanda koma digunakan sebagai pembatas unsur rincian, yang masing-masing adalah radio, televisi, dan tape recorder.
Tanda koma digunakan pula sebagai pembatas antara unsur ungkapan penghubung antarkalimat dan bagian kalimat yang mengikutinya.
Contoh:
Sehubungan dengan itu, …
Berdasarkan hal tersebut, …
Oleh karena itu, …
3. Titik Koma
Tanda titik koma digunakan untuk mengakhiri peryatakan perincian dalam kalimat, yang berupa kata atau kelompok kata.
Contoh:
Syarat-syarat menjadi seorang guru yaitu
a. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. berkewarganegaraan Indonesia;
c. berijazah pendidikan guru;
d. berbadan sehat;
e. mendapat surat pengangkatan sebagai guru;
f. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
4. Titik Dua
Tanda titik dua digunakan pada akhir suatu pertanyaan lengkap jika diikuti pemerian.
Contoh:
(1) Sekretariat memerlukan beberapa peralatan: lemari, komputer, dan meja.
(2) Kantor akan membeli perabot rumah tangga: kursi tamu dan lemari.
Tanda titik dua digunakan sesudah ungkapan atau kata yang memerlukan pemerian.
Contoh:
Ketua : Sulistyo, S.Akt.
Sekretaris : Luthfi, S.I.P.
Bendahara : Siti Nurlaila, S.E.
Tanda titik dua digunakan (a) di antara jilid atau nomor dan halaman dan (b) di antara bab dan ayat dalam kitab suci.
Contoh:
Tempo, I (1971), 34: 8
Surah Yusuf: 2
5. Tanda Hubung
Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan (a) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (b) ke- dengan angka, (c) angka dengan –an, (d) singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan (e) merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing.
Contoh:
se-Kabupaten Purworejo se-Indonesia
hadiah ke-2 tahun 50-an
hari-H sinar-X
mem-PHK-kan pen-tackle-an
6. Tanda Kurung
Tanda kurung digunakan untuk mengapit keterangan atau penjelasan.
Contoh:
Bagian Perencanaan telah selesai menyusun DIK (Daftar Isisan Kegiatan ) kantor itu.
Tanda kurung digunakan untuk mengapit angka atau huruf yang memerinci suatu urutan keterangan
Contoh:
Faktor produksi menyangkut masalah (a) alam, (b) tenaga kerja, dan (c) modal.
7. Garis Miring
Tanda garis miring digunakan di dalam nomor surat dan nomor pada alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim.
Contoh:
No. 7/PK/1988
Jalan Kramat III/10
Tahun Anggaran 1988/ 1989
Tanda garis miring digunakan sebagai pengganti kata atau, dan tiap.
Contoh:
dikirim lewat darat/ laut.
harganya Rp25000,00/ eksemplar
BAB II
PEMBENTUKAN KATA
Kata di dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi lima, yaitu bentuk asal (kata asal), bentuk dasar (kata dasar), bentuk turunan (kata turunan), bentuk pangkas, dan bentuk akronim. Kata turunan dibagi menjadi tiga, yaitu kata berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada diagram berikut.
Bentuk Kata
Bentuk Asal Bentuk Dasar Bentuk Turunan Bentuk Pangkas Bentuk Akronim
a. Kata Berimbuhan
b. Kata Ulang
c. Kata Majemuk
1. Bentuk Dasar
Kata asal adalah kata yang masih asli belum mengalami perubahan bentuk. Berbeda dengan kata dasar, kata dasar itu dapat berupa kata asal, tetapi juga dapat berupa kata yang telah mengalami perubahan. Perhatikan contoh berikut.
(1) diadakan à ada(kata asal)
(2) mempertanggungjawabkan à tanggung jawab (bentuk dasar)
Contoh (1), bentuk dasarnya berupa kata asal, sedangkan contoh (2), bentuk dasarnya berupa kata yang telah mengalami pemajemukan.
2. Bentuk Turunan
Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia meliputi tiga hal, yaitu (1) pengimbuhan, (2) pengulangan, dan (3) pemajemukan (gabungan kata).
a. Pengimbuhan
Pengimbuhan dipilah menjadi empat jenis, yaitu (1) awalan, (2) sisipan, (3) akhiran, dan (4) imbuhan gabungan (awalan-akhiran).
b. Pengulangan
Pengulangan adalah proses atau hasil perulangan kata atau unsur kata. Proses peng-ulangan kata terpilah menjadi tiga, yaitu (a) pengulangan utuh, (b) pengulangan sebagian (parsial), (c) pengulangan berimbuhan.
c. Pemajemukan
Pemajemukan adalah proses penggabungan dua kata yang menghasilkan makna baru. Pemajemukan terpilah menjadi tiga, yaitu (1) berunsur bentuk terikat + bentuk bebas, (2) berunsur bentuk terikat + bentuk bebas, dan (3) berunsur bentuk bebas + bentuk bebas.
3. Bentuk Pangkas
Pemangkasan merupakan bagian pembentukan kata yang menghilangkan atau melesapkan bagian dari kata.
Contoh :
flu. bentuk pangkas influenza
lab. bentuk pangkas laboratorium info. bentuk pangkas informasi
4. Bentuk Akronim
Contoh :
Solo Berseri – (bersih, sehat, rapi, indah)
Yogyakarta Berhati Nyaman – (bersih, sehat, indah, dan nyaman)
Dikdasmen - Pendidikan Dasar dan Menengah
5. Bentuk Terikat
Termasuk ke dalam golongan ini imbuhan atau afiks, bentuk klitika, dan bentuk gabungan/kombinasi.
Contoh :
(1) Imbuhan meliputi (1) awalan : me-, pe-, ber-, per-, ter-, di-, ke-, se-
(2) sisipan : -el-, -em-, dan -er-
(3) akhiran : -an, -kan, dan –i
(4) gabungan : me-/-kan, me-/-i, pe-/-an, per-/-kan,
(2) Klitika: -lah, -kah, -pun, ku-, dan –mu
(3) Bentuk gabungan/kombinasi :
Unsur Bentukan Bentukan Padanan
alih alih tulis transcript
lepas lepas landas take off
6. Analogi
Analogi adalah pembentukan kata atau struktur baru berdasarkan pola bentuk lain yang sudah ada.
7. Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan
Di dalam bahasa Indonesia ada beberapa bentuk kata yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pembentukan kata. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Pembentukan kata dengan awalan me- pada kata dasar berawal gugus konsonan k,p,t,s akan mengalami luluh.
Contoh : me- + karang à mengarang
me- + padu à memadu
me- + tata à menata
me- + suplai à menyuplai
(2) Pembentukan kata dengan awalan me- pada kata dasar berawal gugus konsonan atau kluster kr, pr,st, tr, kl tidak mengalami luluh. Contoh :
me- + kristal à mengkristal
me- + produksi à memproduksi
me- + stabil à menstabil
me- + traktir à mentraktir
me- + klaim à mengklaim
BAB III
KONSEP PERISTILAHAN DALAM BAHASA INDONESIA
1. Pengertian Istilah
Yang dimaksud dengan istilah ialah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna, konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Dengan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa (1) tidak setiap kata atau kelompok kata merupakan istilah, (2) setiap istilah mengungkapkan makna khas, dan (3) istilah dipergunakan dalam bidang tertentu.
2. Macam Istilah
Istilah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu istilah khusus dan itilah umum.
(a) Istilah khusus adalah istilah yang maknanya terbatas pada bidang ilmu tertentu, misalnya morfologi (dalam bidang kimia, biologi, dan linguistik).
(b) Istilah umum adalah istilah dari bidang ilmu tertentu yang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari, misalnya radio, listrik, anggaran belanja, nikah.
3. Prinsip-prinsip dalam Peristilahan
3.1 Sumber Istilah
Sumber istilah dalam bahasa Indonesia berasal dari (a) bahasa Indonesia, (b)bahasa serumpun, (c) bahasa asing.
a. Bahasa Indonesia:
b. Bahasa serumpun:
c. Bahasa asing :
3.2 Dasar Pemilihan
Dasar pemilihan dalam peristilahan yaitu sebagai berikut.
Jika istilah diambil dari bahasa Indonesia atau bahasa serumpun, dipertimbangkan prinsip-prinsip berikut:
(a) memiliki ketepatan daya ungkap,
(b) keringkasannya,
© tidak berkonotasi jelek, dan
(d) sedap didengar.
Jika istilah diambil dari bahasa asing, dipertimbangkan prinsip-prinsip berikut:
(a) memudahkan pengalihan antarbahasa;
(b) mengungkapkan pengertian yang lebih cermat;
© lebih singkat; dan
(d) memudahkan kesepakatan.
3.3 Teknik Pemerolehan Istilah
Untuk memperoleh istilah, ada beberapa cara atau teknik yang dilakukan, yaitu (1) pemadanan, (2) penerjemahan (dari bahasa asing dan daerah), dan (3) penyerapan (dari bahasa asing dan daerah). Di samping itu, ada tujuh langkah yang harus dilakukan dalam membentuk istilah. Ketujuh langkah tersebut dinamakan prosedur pembentukan istilah (dapat dilihat pada buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah, 1997).
3.4 Ejaan Dalam Peristilahan
Perlu diketahui bahwa ejaan dalam peristilahan berhubungan dengan tata tulis. Dalam hal ini ditekankan pada penyesuaian ejaan. Berkaitan dengan itu, ada beberapa konsep yang dijadikan dasar kaidah, yaitu ejaan fonemik, ejaan etimologi, transliterasi, ejaan nama diri, dan penyesuauan ejaan bahasa Indonesia. (rincian lihat transparan)
4. Penutup
Sebagai penutup di dalam pembicaraan istilah, dapat dikemukakan bahwa penggunaan istilah merupakan hal yang penting diperhatikan. Hal-hal yang menjadikan istilah merupakan suatu kepentingan yaitu sebagai berikut:
(a) sebagai tuntutan konsep (termasuk pada lingkup pengajaran SD);
(b) sebagai sarana pemandaian (pengembang ilmu atau peningkatan kualitas); dan
© sebagai sarana pengajaran yang efektif.
Untuk memiliki keterampilan dalam menggunakan istilah, dapat dilakukan dengan cara membiasakan diri menggunakan istilah dengan benar. Kemudian, membiasakan menjelaskan pada siswa istilah yang benar dan mengoreksi istilah yang salah.
BAB IV
KALIMAT DI DALAM BAHASA INDONESIA
1. Pengertian Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang sudah memuat pengertian lengkap atau mengungkapkan pikiran secara utuh. Karena merupakan satuan bahasa terkecil yang sudah mengungkapkan pikiran secara utuh, kalimat tidak menjadi bagian dari kalimat yang lain. Dalam wujud yang paling sederhana, kalimat berunsur dua kata atau dua kelompok kata yang masing-masing berfungsi sebagai S (subjek) dan P (predikat) seperti terlihat pada contoh berikut.
(1) Adik // menari.
S P
(2) Pembangunan jalan layang itu // masih belum juga selesai.
S P
Contoh (1) merupakan kalimat yang terdiri atas dua kata, sedangkan contoh (2) merupakan kalimat yang terdiri atas dua kelompok kata.
Di samping istilah kalimat—yang minimal terdiri atas subjek dan predikat—terdapat istilah klausa yang, minimal, juga terdiri atas subjek dan predikat. Dilihat dari strukturnya, kedua istilah itu memperlihatkan kesamaan, yaitu minimal berunsur S-P. Secara mendasar, istilah klausa dibedakan dari kalimat berdasarkan (a) ada tidaknya intonasi atau tanda baca dan (b) sifat keberadaannya dalam konstruksi yang lebih besar. Untuk memperjelas perbedaan tersebut, berikut disajikan penerapannya di dalam contoh.
(3) Panas matahari // kian menyengat.
S P
(4) Lelaki tua itu // masih harus mencangkul // beberapa petak sawah lagi.
S P O
(5) Panas matahari // kian menyengat // ketika lelaki tua itu // masih harus
S P K P2
mencangkul // beberapa petak sawah lagi.
O2
Konstruksi contoh (3)—(5) merupakan kalimat karena masing-masing tidak menjadi bagian dari konstruksi yang lebih besar. Menarik untuk dibicarakan ialah keberadaan konstruksi (3) dan (4) dalam dalam konstruksi (5). Secara mandiri, konstruksi panas matahari kian menyengat pada contoh (3) dan lelaki tua itu masih harus mencangkul beberapa petak sawah lagi pada contoh (4) masing-masing merupakan klausa yang sekaligus merupakan kalimat. Pada konstruksi (5) masing-masing konstruksi itu bukan lagi kalimat, melainkan sekadar klausa. Sifat keklausatifan konstruksi (3) panas matahari kian menyengat dan (4) lelaki tua itu masih harus mencangkul beberapa petak sawah lagi disebabkan oleh sifat keberadaannya yang sekadar menjadi bagian dari konstruksi yang lebih besar, yaitu konstruksi (5) panas matahari kian menyengat ketika lelaki tua itu masih harus mencangkul beberapa petak sawah lagi.
2. Ciri Kalimat
Selain didasarkan pada adanya intonasi, tanda baca, atau keterikatannya pada konstruksi lain yang lebih besar, kalimat ditandai juga dengan kemungkinannya untuk diubah susunannya tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan makna. Perhatikan contoh berikut!
(6) anak // yang rajin (berarti ‘anak yang tidak malas’) ®
(6a) yang rajin // anak (berarti ‘yang rajin bukan orang tua’)
(7) anak yang rajin itu // sedang belajar (berarti ‘anak yang rajin itu tidak sedang
tidur’) ®
(7a) sedang belajar // anak yang rajin itu (berarti ‘tidak sedang tidur anak yang rajin itu’)
Karena pengubahan susunan yang tidak mengakibatkan terjadinya perubahan makna terjadi pada contoh (7), konstruksi yang merupakan kalimat ialah konstruksi (7). Konstruksi (6) hanya merupakan frase.
3. Unsur-Unsur kalimat
Di samping berunsur subjek dan predikat, kalimat dapat dibangun dengan unsur yang lebih kompleks seperti terlihat pada contoh berikut.
(8) Ayah // selalu mengirimi // kami // uang // pada setiap awal bulan.
S P O Pel. K
Berdasarkan contoh (8) diketahui bahwa sebuah unsur kalimat dapat berupa (S) subjek, (P) predikat, O (objek), Pel (pelengkap), dan K (keterangan). Pengertian dan ciri masing-masing unsur itu ialah sebagai berikut.
3.1 Subjek
Subjek adalah unsur kalimat yang diperikan (diperkatakan) dalam sebuah kalimat. Subjek memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. merupakan jawaban atas pertanyaan apa atau siapa;
b. dapat disertai kata ini atau itu (penanda takrif);
c. tidak didahului kata depan/preposisi;
d. dapat berupa kata/kelompok kata benda atau kelas kata yang lain yang dapat memiliki salah satu ciri subjek.
3.2 Predikat
Predikat adalah unsur kalimat yang memerikan atau memberitahukan apa, , mengapa, bagaimana atau berapa tentang subjek kalimat. Predikat memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. merupakan jawaban atas pertanyaan apa, bagaimana, mengapa, atau berapa;
b. dapat disertai kata pengingkar tidak atau bukan;
c. dapat disertai adverbia seperti ingin, hendak, mau, akan;
d. dapat didahului kata ialah, adalah, merupakan;
e. dapat berupa kata atau kelompok kata kerja, kata atau kelompok kata sifat, kata atau kelompok kata benda, kata atau kelompok kata bilangan.
3.3 Objek
Objek adalah unsur kalimat yang dikenai perbuatan atau menderita akibat perbuatan subjek. Objek memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. terdapat dalam kalimat berpredikat verba transitif;
b. langsung mengikuti predikat;
c. tidak dapat didahului kata depan atau preposisi;
d. menjadi subjek dalam konstruksi pasifnya;
e. dapat berupa kata atau kelompok kata benda atau anak kalimat (ditandai dengan kata hubung bahwa);
f. dapat diganti dengan bentuk –nya.
3.4 Pelengkap
Pelengkap adalah unsur kalimat yang melengkapi predikat dan tidak dikenai perbuatan subjek. Pelengkap memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. melengkapi makna kata kerja (predikat);
b. terdapat dalam kalimat berpredikat kata kerja intransitif atau dwitransitif;
c. langsung mengikuti predikat atau objek jika terdapat objek di dalam kalimat itu;
d. tidak didahului kata depan;
e. berupa kata/kelompok kata benda, kata/kelompok kata sifat atau klausa;
f. tidak dapat menjadi subjek dalam konstruksi pasifnya;
g. tidak dapat diganti dengan –nya;
3.5 Keterangan
Keterangan adalah unsur kalimat yang memberikan informasi lebih lanjut tentang hal yang dinyatakan di dalam kalimat. Keterangan memiliki ciri-ciri:
a. memberikan informasi tentang waktu, tempat, tujuan, cara, penyerta, alat, kemiripan, sebab, atau kesalingan;
b. memiliki keleluasaan letak/posisi (dapat di awal, akhir, atau menyisip di antara subjek dan predikat);
c. didahului kata depan seperti di, ke, dari, pada, dalam, dengan atau kata penghubung/konjungsi jika berupa anak kalimat;
d. tanpa kata depan jika berupa kata seperti kemarin, sekarang, tadi, nanti;
4. Macam-Macam Kalimat
Secara mendasar kalimat dibedakan berdasarkan makna dan bentuknya. Berdasarkan maknanya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita, perintah, dan tanya. Berdasarkan bentuknya, kalimat dibedakan menjadi kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal maupun kalimat majemuk dapat diperinci lagi berdasarkan beberapa aspek. Perincian secara lengkap dapat dilihat pada bagan berikut.
Pada kesempatan ini pembahasan lebih lanjut diberikan pada kalimat tunggal dan kalimat majemuk.
4.1 Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri atas satu klausa. Dengan kata lain, kalimat ini hanya terdiri atas satu subjek dan satu predikat.
4.2 Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang setidaknya terdiri atas dua klausa. Kalimat majemuk dibedakan menjadi kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat.
4.2.1 Kalimat Majemuk Setara
Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang tersusun dari setidaknya dua klausa yang masing-masing dapat dijadikan kalimat tunggal mandiri. Penggabungan ini menggunakan kata penghubung atau konjungsi sebagai perangkai. Dalam hal ini, konjungsi berfungsi menautkan informasi kedua klausa. Pada kalimat majemuk setara ditemukan empat jenis hubungan informasi yang masing-masing menuntut konjungsi yang berbeda.
4.2.1.1 Hubungan Penjumlahan
Kalimat majemuk setara bermakna penjumlahan ditandai oleh konjungsi, seperti, dan, serta, lagi pula.
(9) Andi menabuh gendang dan Joko memetik gitar.
(10) Ia sangat cantik lagi pula tidak sombong
4.2.1.2 Hubungan Perlawanan
Kalimat majemuk setara bermakna perlawanan ditandai dengan konjungsi, seperti, tetapi, melainkan, sedangkan.
(11) Tindakan itu terkesan menolong, tetapi sebenarnya merugikan.
(12) Dia bukan dokter, melainkan seorang perawat.
(13) Orang tua selalu menyalahkan anak-anaknya, sedangkan mereka sendiri terlalu sibuk dengan urusan luar rumahnya.
4.2.1.3 Hubungan Urutan
Kalimat majemuk setara bermakna hubungan urutan ditandai dengan konjungsi, seperti, lalu, lantas, kemudian.
(14) Lelaki itu hanya berhenti sebentar lalu pergi lagi.
(15) Anak-anak berlomba mencapai pohon itu lantas berebut untuk memanjatinya.
(16) Pak Hasan berlari meninggalkan tempat pengintaian kemudian melapor kepada pimpinan pejuang.
4.2.1.4 Hubungan Pemilihan
Kalimat majemuk setara bermakna hubungan pemilihan ditandai oleh konjungsi atau.
(17) Saat itu dia terpaksa membunuh atau dibunuh.
4.2.2 Kalimat Majemuk Bertingkat
Kalimat majemuk bertingkat, sekurang-kurangnya, terdiri atas dua klausa, yaitu klausa utama (induk kalimat) dan klausa subordinatif (anak kalimat). Ciri masing-masing klausa kalimat majemuk ini sebagai berikut.
4.2.2.1 Ciri Klausa Utama
Ciri-ciri klausa utama adalah:
a. dapat berdiri sendiri sebagai kalimat tunggal;
b. mempunyai unsur klausa yang lebih lengkap jika dibandingkan dengan klausa subordinatif;
c. tidak didahului kata hubung.
4.2.2.2 Ciri Klausa Bukan Utama
Ciri-ciri klausa bukan utama adalah:
a. tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat tunggal;
b. kelengkapan unsur klausanya tidak selengkap klausa utama (jika subjek sama, subjek pada klausa bukan utama dilesapkan);
c. dapat menempati posisi awal, akhir, atau menyisip di antara subjek dan predikat klausa utama;
d. ditandai kata hubung yang menandai ketaksetaraannya: seperti
1. penanda hubungan waktu:
sejak, sedari, sewaktu, ketika, seraya, sambil, selagi, tatkala, sebelum, sesudah, setelah, seusai, sampai, hingga, dan sebagainya;
2. penanda hubungan syarat atau pengandaian:
jika(lau), seandainya, andaikata, andaikan, asalkan;
3. penanda hubungan tujuan: agar, supaya, untuk, dan biar;
4. penanda hubungan konsesif/ketakbersyaratan:
walau(pun), meski(pun), biarpun, kendati(pun), sungguhpun, sekalipun, biarpun;
5. penanda hubungan pembandingan:
seperti, bagaikan, laksana, sebagaimana, daripada, alih-alih, ibarat;
6. penanda hubungan sebab: sebab, karena, oleh karena;
7. penanda hubungan akibat: sehingga, sampai (-sampai), dan maka;
8. penanda hubungan cara: dengan atau tanpa;
9. penanda hubungan kemiripan:
seolah-olah, seakan-akan.
BAB V
PARAGRAF
1. Pengertian
Alinea (Belanda) berasal dari bahasa Latin a + linea yang berarti ‘mulai dari garis baru’. Paragraf adalah bagian dari suatu karangan atau tuturan yang terdiri dari sejumlah kalimat yang mengungkapkan satuan informasi dengan ide pokok sebagai pengendalinya (Ramlan, 1993:1).
2. Tujuan Penyusunan Paragraf
(1) Memudahkan pemahaman isi seluruh karangan dengan cara memisahkan gagasan satu dengan yang lain.
(2) Upaya menegaskan pengertian secara logis dan sistematis.
(3) Memberi peluang kepada pembaca untuk berkonsentrasi terhadap gagasan paragraf hingga pemahamannya terarah.
(4) Untuk menciptakan komunikasi yang efektif antara penulis dan pembaca kare-na gagasan yang dimaksud disampaikan secara logis dan sistematis.
3. Jenis Paragraf
a. Paragraf Pembuka
Paragraf pembuka berfungsi sebagai pengantar karangan. Oleh sebab itu, paragraf pembuka terletak pada awal karangan. Paragraf pembuka harus me-narik perhatian dan sanggup menghubungkan pikiran pembaca dengan masa-lah yang akan disajikan selanjutnya.
b. Paragraf Pengembang
Berfungsi mengembangkan pokok pembicaraan yang telah direncanakan. Semua paragraf yang terletak di antara paragraf pembuka dan penutup termasuk jenis para-graf pengembang.
c. Paragraf Penutup
Terletak pada akhir sebuah karangan. Paragraf penutup biasanya berisi simpulan atas seluruh masalah yang telah dipaparkan dalam paragraf pengembang.
4. Syarat Penyusunan Paragraf
Untuk menyusun paragraf yang baik, ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) kelengkapan, (2) kesatuan, (3) kepaduan, dan (4) keruntutan.
4.1 Ciri Kelengkapan
Paragraf yang baik adalah paragraf yang lengkap. Artinya, di dalam paragraf itu harus tercakup semua penjelasan tentang gagasan utama, tidak ada “sisa” perta-nyaan untuk pembaca. Maksudnya, setelah membaca paragraf, pembaca tidak lagi menyimpan pertanyaan yang berhubungan dengan maksud atau isi paragraf itu. Dengan kata lain, informasi yang disampaikan di dalam paragraf itu sudah lengkap.
Contoh:
(1) *Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah. Pertama, memberantas sarang nyamuk penyebar demam berdarah. Seperti kita ketahui bahwa nyamuk penyebar demam berdarah ini biasanya berkembang di genangan air. Jentik-jentik nyamuk yang berada di genangan air itu akan menetas pada waktu tujuh hari. Oleh karena itu, genangan air harus ditimbun.
(1a) Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah. Pertama, memberantas sarang nyamuk penyebar demam berdarah. Kedua, mengubur barang-barang bekas agar tidak dipergunakan sebagai sarang nyamuk. Ketiga, menguras bak air dan tempat-tempat air lainnya setiap seminggu sekali. Dan, yang terakhir, menjaga kebersihan lingkungan pemukiman.
4.2 Kesatuan
Paragraf yang baik harus berpusat pada satu gagasan utama. Gagasan-gagasan lain di dalam paragraf itu harus sekedar menjelaskan atau mendukung gagasan utama. Gagasan utama tertuang di dalam kalimat topik, sedangkan gagasan penjelas atau pengembang tertuang di dalam kalimat-kalimat penjelas atau pengembang. Perhatikan contoh berikut.
(2) Meskipun sudah uzur, Pak Karto masih gesit dan cekatan. Begitu bangun pagi, tanpa minum dahulu, ia memberi makan ayam-ayam dan itiknya. Sesudah itu, ia lalu memanggul cangkulnya pergi ke ladang. Laki-laki tua itu terus mencangkuli tanah ladangnya yang sudah mengeras, menyiapkan lahan yang akan ditanami kacang dan jagung pada musim hujan yang segera akan datang.
4.3 Kepaduan
Paragraf disebut padu jika informasi yang diungkapkan melalui kalimat-kalimatnya memperlihatkan keterkaitan yang logis. Dengan adanya keterpaduan, paragraf terhin-dar dari kemungkinan “lompatan pemikiran” di dalam pemahamannya. Prinsip kepa-duan menuntut adanya pengembangan informasi yang tepat. Ketepatan pengembangan informamsi itu ditentukan oleh a) kata ganti (ia, -nya, mereka, dsb), b) kata tunjuk (ini, itu, tersebut, dsb.), c) repetisi atau pengulangan, dan d) kata-kata transisi (di samping itu, dengan kata lain, akan tetapi, namun, dsb.).
4.3.1 Pemakaian Kata Ganti
Contoh:
(3) Meskipun sudah uzur, Pak Karto masih gesit dan cekatan. Begitu bangun pagi, tanpa minum dahulu, ia memberi makan ayam-ayam dan itik-itiknya. Sesudah itu, ia lalu memanggul cangkulnya pergi ke ladang. Laki-laki tua itu terus mencang-kuli tanah ladangnya yang sudah mengeras, menyiapkan lahan yang akan dita-nami kacang dan jagung pada musim hujan yang segera akan datang.
4.3.2 Pemakaian Kata Tunjuk
Contoh:
(4) Di atas ini adalah gambar papan catur yang istilah teknisnya disebut diagram. Untuk memudahkan penglihatan, diagram itu disajikan tanpa buah caturnya.
(5) Kita perhatikan kalimat ini. Semua usahanya gagal. Karena itu ia amat sedih.
4.3.3 Pemakaian Repetisi
Contoh:
(6) Adalah suatu kejahatan menjual kepulauan ini kepada Jepang. Kepulauan ini bukan sesuatu yang tumbuh begitu saja dari karang yang tandus. Akan tetapi, bagi kami kepulauan ini merupakan zamrut di ujung timur Soviet.
4.3.4 Pemakaian Kata Transisi
Contoh:
(7) Pembangunan ekonomi tetap menduduki tempat pertama dalam skala prioritas nasional, baik dalam pola jangka panjang maupun dalam pola umum Pelita I dan II yang sesuai dengan haluan pembangunan yang digariskan oleh MPR. Ketetapan ini mencerminkan betapa besar masalah sosial ekonomi yang perlu kita garap untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Terangnlah, justru untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam arti yang luas itu diperlukan dana pembangunan yang makin besar. Dana pembangunan harus dihimpun melalui kegiatan produksi dan gerak ekonomi yang menanjak. Dengan kata lain, kesejahteraan rakyat dalam arti yang sebenarnya hanya mungkin terwu-jud dalam tingkat ekonomi maju. Demikianlah, arti prioritas dalam pem-bangunan ekonomi kita.
4.3.5 Keruntutan
Paragraf yang baik menggunakan alur pemaparan atau pengembangan informasi yang runtut. Jenis-jenis alur pemaparan informasi itu akan dibicarakan pada bagian pengembangan paragraf.
5. Ide Pokok dan Kalimat Topik
5.1 Ide Pokok atau Gagasan Utama
Setiap paragraf memiliki ide pokok sebagai pengendali yang dapat tersurat dan dapat pula hanya tersirat. Ide pokok yang hanya tersirat dapat dilihat contoh berikut.
(8) 1) Setiap hari Ahmad bangun pukul lima pagi. 2) Sesudah bersembahyang Subuh, ia melakukan olahraga ringan, berjalan kaki selama lebih kurang 45 menit untuk memanaskan tubuhnya. 3) Pukul tujuh, setelah keringatnya kering, ia mandi dengan air hangat, dan setelah makan pagi, pada pukul delapan, ia berangkat ke kantor, hingga pukul empat petang baru tiba kembali di rumah. 4) Sisa waktunya dipergunakannya untuk bermain-main dengan si kecil, anak tunggalnya yang baru berusia dua tahun.
Contoh (8) menunjukkan bahwa gagasan utama atau ide pokok tidak menginduk pada kalimat topik. Kalimat-kalimat 1 sampai dengan 4 semuanya utama. Ide pokok pada contoh (8), yaitu kehidupan Ahmad sehari-hari.Hal itu berbeda dengan contoh berikut.
(9) Anisa memang gadis yang cantik. Rambutnya panjang tergerai. Hidungnya mancung. Senyumnya memikat setiap lelaki yang memandangnya.
Kalimat topik pada contoh (9) adalah Anisa memang gadis yang cantik.
5.2 Letak Kalimat Topik
5.2.1 Pada Awal Paragrap
Kalimat topik dapat terletak pada awal paragraf, seperti contoh berikut.
(10) 1) Malam harinya kami mulai sibuk. 2) Barang sewaan mulai berdatangan. 3) Tenda dipasang langsung oleh petugas. 4) Keluarga inti berbincang-bincang merancang bagaimana arena diatur. 5) Di mana tempat duduk anak yang dikhitan, di mana kursi undangan, tempat pembawa acara, pembicara, dan sebagainya. 6) Sebagian menyiapkan dipan tempat khitanan dengan hiasan spreinya. 7) Sebagian tetap di dapur menyiapkan makan selanjutnya. 8) Ada pula yang membuat penganan untuk penambah makanan kecil. 9)Pokoknya semua bekerja.
5.2.2 Pada Tengah Paragraf
Kalimat topik dapat juga terletak di tengah paragraf, seperti contoh berikut.
(11) Ratusan mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya sebagai mahasiswa pecinta alam seluruh Indonesia mendatangi kantor kami. Mereka menduduki pintu masuk ke kantor sehingga kendaraan yang biasanya keluar masuk kantor kami praktis terhalang. Mereka menuduh kamilah “biang kerok ”pencemaran Sungai Ciliwung. Kami tidak tahu mengapa mereka yakin dengan tuduhan itu. Padahal, kita tahu bahwa banyak pabrik yang menya-lurkan buangan airnya ke Sungai Ciliwung. Bagaimana mereka yakin bahwa kamilah penyebab pencemaran Sungai Ciliwung itu? Kami berani membuktikan bahwa buangan air pabrik-pabrik kami telah bebas dari kandungan zat yang membahayakan. Kami men-duga ada sesuatu di balik peristiwa itu.
5.2.3 Pada Akhir Paragraf
Kalimat topik dapat terletak pada akhir paragraf, seperti contoh di bawah ini.
(12) Sejak suaminya meninggal dunia dua tahun yang lalu, Nyonya Mery sering sakit. Setiap bulan ia pergi ke dokter untuk berobat. Harta peninggalan suaminya semakin habis untuk berobat serta untuk biaya hidup sehari-hari bersama dua orang anaknya yang masih kuliah. Anaknya yang tertua sedang menyusun skripsi, sedangkan yang kedua masih duduk di semester enam. Sungguh berat beban hidup Nyonya Mery.
5.2.4 Pada Awal dan Akhir Paragraf
Kalimat topik dapat juga terletak pada awal dan akhir paragraf, seperti contoh berikut.
(13) Jalan Malioboro sangat ramai. Pagi-pagi sudah banyak kendaraan yang lewat. Anak-anak sekolah pun memadati jalan itu. Ada yang naik sepeda, ada yang naik sepeda motor, dan ada juga yang naik bus kota. Sesudah agak siang, giliran masyarakat umum, baik para pelancong maupun masyarakat yang akan berbelanja ke pasar Beringharjo. Jalan Malioboro tidak pernah sepi.
6. Jenis Paragraf
Paragraf dapat dikelompokkan berdasarkan (a) pola penalaran dan (b) gaya atau corak penyajian informasi.
6.1 Paragraf Berdasarkan Pola Penalaran
Berdasarkan pola penalaran, paragraf dikelompokkan menjadi (a) paragraf deduktif, (b) induktif, (c) deduktif-induktif, dan (d) induktif-deduktif.
6.1.1 Paragraf Deduktif
Paragraf deduktif adalah paragraf yang disusun dengan penalaran yang bergerak dari hal umum ke khusus.
Contoh:
(14) Enceng gondok termasuk gulma atau tumbuhan pengganggu. Enceng gondok menyebar dengan cepat lewat angin dan arus bawah air, serta mampu mem-percepat penguapan air tenang seperti danau. Perairan yang ditumbuhi enceng gondok akan menjadi cepat dangkal, kotoran dan lumpur melekat pada akar-akar tumbuhan tersebut akan mengganggu lalu lintas air. Sungai pun tampak kotor.
6.1.2 Paragraf Induktif
Paragraf induktif adalah paragraf yang disusun dengan penalaran yang bergerak dari hal khusus ke umum.
Contoh:
(15) Komputer dapat dijadikan alat hiburan. Banyak komputer yang dilengkapi dengan fasilitas gambar tiga dimensi dan tata suara yang memukau. Hal ini sejalan dengan perkembangan internet. Oleh karena itu, beberapa komputer kini dirancang dengan mutu dan fungsi yang makin meningkat sesuai dengan aplikasinya.
6.1.3 Paragraf Deduktif-Induktif
Paragraf deduktif-induktif adalah paragraf yang disusun dengan penalaran yang ber-gerak dari hal yang umum ke hal yang khusus, seperti contoh berikut.
Contoh:
(16) Mereka tidak menduga bahwa pertengkaran kecil antara dua pelajar SMA Negeri 6 dan pemuda yang sering menongkrong di Gang Asem Gede itu menimbulkan masalah besar. Sehari dua hari tampak bahwa pertengkaran itu sudah selesai seperti pertengkaran-pertengkaran yang biasa terjadi antarpelajar. Akan tetapi, pada hari kelima (tepatnya Sabtu, tanggal 12 November 1989) tanpa disangka-sangka sejumlah pemuda mendatangi SMA Negeri 6 dan secara bertubi-tubi melempari gedung SMA Negeri 6 dengan batu. Belum hilang keterkejutan para siswa dan guru SMA Negeri 6 yang ketika itu tengah belajar di kelas, pemuda-pemuda itu mulai melemparkan bom molotov yang rupanya telah dipersiapkan secara rapi sebelumnya. Akibatnya, sebagian besar sekolah itu, termasuk laboratorium fisika dan perpustakaan, terbakar habis. Mereka benar-benar tidak percaya bahwa masalah besar itu bermula dari pertengkaran kecil siswa SMA Negeri 6 dengan pemuda yang biasa menongkrong di Gang Asem Gede.
6.1.4 Paragraf Induktif-Deduktif
Paragraf induktif-deduktif adalah paragraf yang disusun dengan penalarann yang bergerak dari hal-hal khusus ke umum, lalu ke khusus lagi.
Contoh:
(17) Kemarin tetangga saya bercerita bahwa pada suatu hari ketika menyapu lantai di kamar tamu, dia menemukan sebutir pil. Setelah ditanyakan kepada orang yang mengetahui pil terlarang, ternyata pil itu pil koplo. Dia tahu betul bahwa malam sebelumnya beberapa kawan sekolah anaknya bermain di rumahnya sampai larut malam. Saya menyarankan agar orang tua mewas-padai narkoba. Kejadian itu baru merupakan contoh kecil. Anak tetangga saya mengeluh pusing-pusing. Ternyata setelah ditanyai beberapa hal oleh orang tuanya, anak itu dipaksa kawannya untuk menelan pil koplo itu.
6.2 Paragraf Berdasarkan Gaya atau Corak
Berdasarkan gaya penyampaian informamsinya, paragraf dikelompokkan menjadi paragraf (a) kisahan (narasi), (b) lukisan (deskripsi), (c) paparan (eksposisi), dan (d) bahasan (argumentasi).
6.2.1 Paragraf Kisahan (Narasi)
Paragraf kisahan (narasi) adalah paragraf yang digunakan untuk menceriterakan suatu peristiwa secara kronologis.
Contoh:
(18) Pukul lima pagi adikku, Faisal, sudah bangun. Sesudah melipat selimut, ia menggosok gigi dan mencuci muka, lalu berolahraga sebentar terus mandi. Setelah berganti pakaian, adikku makan pagi. Seperti orang yang kelaparan, dalam sekejap mata jatah makan paginya disikat habis. Setelah itu, ia minta uang jajan dan minta diantarkan ke sekolah. Padahal, saya sendiri masih ingin bermalas-malas di tempat tidur.
6.2.2 Paragraf Lukisan (Deskripsi)
Paragraf lukisan (deskripsi) adalah paragraf yang digunakan untuk melukiskan keada-an suatu hal secara rinci.
Contoh:
(19) Yang disebut bajaj itu sebenarnya tidak lebih dari sebuah sepeda motor yang beroda tiga. Satu roda di depan, dua roda di belakang. Di atas roda belakang itulah dipasang tempat duduk untuk penumpang.
6.2.3 Paragraf Paparan (Eksposisi)
Paragraf paparan (eksposisi) adalah paragraf yang digunakan untuk memaparkan atau menguraikan suatu gagasan.
Contoh:
(20) Dalam karang-mengarang dituntut beberapa kemampuan, seperti kemam-puan yang berhubungan dengan kebahasaan dan kemampuan pengem-bangan atau penyajian. Yang termasuk kemampuan kebahasaan adalah kemampuan menerapkan ejaan, kosakata, diksi, dan kalimat. Yang dimak-sudkan dengan kemampuan pengembangan adalah kemampuan menata paragraf dan kemampuan membedakan pokok bahasan dengan subpokok bahasan. Kemampuan membedakan pokok dan subpokok bahasan perlu diikuti dengan penyajian yang sis-tematis.
6.2.4 Paragraf Bahasan (Argumentasi)
Paragraf bahasan (argumentasi) adalah paragraf yang digunakan untuk menyam-paikan alasan dalam rangka memperkuat atau menolak suatu pendapat atau gagasan.
Contoh:
(21) Kedisiplinan lalu lintas masyarakat di Yogyakarta cenderung menurun. Hal itu terbukti dengan bertambahnya jumlah pelanggaran yang tercatat di kepoli-sian. Selain itu, jumlah korban yang meninggal akibat kecelakaan pun semakin meningkat. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat tentang kedisi-plinan berlalu lintas perlu ditingkatkan.
7. Pengembangan Paragraf
Pengembangan paragraf dilakukan untuk memerinci gagasan yang biasanya dikemu-kakan dalam kalimat topik. Pengembangan paragraf dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.
7.1 Pengembangan Paragraf dengan Definisi
Contoh:
(22) Frustasi adalah perasaan seseorang akibat tidak dapat mencapai sesuatu yang diharapkan atau diinginkan. Ketika seorang pemuda tidak dapat merebut hati gadis yang amat dicintainya atau ketika seorang petani yang sudah menginves-tasikan sebagian besar uangnya untuk menanam padi, tetapi ternyata panennya gagal, mereka dapat merasa frustasi. Dengan kata lain, frustasi pada dasarnya adalah perasaan kecewa seseorang karena tidak berhasil memperoleh sesuatu yang diinginkan.
7.2 Pengembangan Paragraf dengan Pembandingan
Contoh:
(23) Anak sulungku yang kini berumur delapan tahun, benar-benar berbeda dengan adiknya. Wajah anak sulungku mirip ibunya, sedangkan wajah adiknya mirip bapaknya. Dalam hal makan, sulit sekali membujuk Si Sulung untuk makan. Ia hanya menyenangi makan-makanan seperti coklat es krim, sedangkan adiknya tidak pernah menolak makanan. Bahkan, obat-obatan yang diberikan oleh dokter, ketika ia sakit pun, dianggapnya makanan. Akibat nafsu makan yang berbeda itu, tubuh Si Sulung jauh lebih kurus jika dibandingkan dengan tubuh adiknya. Akan tetapi, baik Si Sulung maupun adiknya mudah marah jika tidak memperoleh apa yang diinginkannya. Dalam hal ini, mereka lebih mirip dengan sifat bapaknya.
7.3 Pengembangan Paragraf dengan Analogi
Contoh:
(24) Sebenarnya hidup manusia ini seolah-olah bagaikan orang yang sedang naik dan turun gunung. Pada saat muda kita akan mendaki gunung itu. Pada saat usia kita mencapai 25--30 tahun, kita akan mencapai puncak gunung, yakni puncak kemampuan fisik kita. Setelah itu, tanpa kecuali, kita akan mengalami kemunduran fisik dan mental secara perlahan-lahan, tetapi pasti, seperti orang yang sedang menuruni gunung.
7.4 Pengembangan Paragraf dengan Sebab-Akibat
Contoh:
(25) Keberadaan industri komponen di dalam negeri masih berada dalam kondisi rapuh sehingga sulit diharapkan untuk dapat mendukung keberadaan industri otomotif. Akibatnya, industri otomotif nasional hingga kini masih tinggi tingkat ketergantungannya dengan komponen impor. Tingkat ketergantungan yang masih tinggi itu berakibat pada masih tingginya harga otomotif di tanah air.
7.5 Pengembangan Paragraf dengan Klasifikasi
Contoh:
(26) Berdasarkan tingkat pendidikannya, tenaga kerja yang tersedia di pasar Indo-nesia dapat dibagi atas tiga kelompok. Ketiga kelompok itu, ialah mereka yang berpendidikan dasar (SD dan AMP), yang berpendidikan menengah, dan yang berpendidikan tinggi. Kelompok yang berpendidikan dasar lebih banyak daripada kelompok yang berpendidikan menengah dan tinggi.
7.6 Pengembangan Paragraf dengan Contoh
Contoh:
(27) Masih berkisar tentang pencemaran lingkungan, Gubernur Jawa Tengah memberi-kan contoh tentang jambu mete di Mayong, Jepara yang diserang ulat kipat atau Cricula Trifenestrata. Ulat ini timbul akibat berdirinya peternakan ayam di tengah-tengah perkebunan tersebut. Menurut Gubernur, izin peter-nakan ayam di Mayong itu diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Kalau hal ini memang benar, lain kali kita harus berhati-hati dalam memberikkan izin suatu usaha”, ujar Gubernur.
7.7 Pengembangan Paragraf dengan Proses
Contoh:
(28) Perlawanan Putra Alam terhadap Pangeran Nuku berjalan terus. Pada tahun 1780 pasukan Putra Alam mengepung kediaman Pangeran Nuku. Akan tetapi, usaha Putra Alam gagal. Pangeran Nuku dapat lolos dan atas bantuan adiknya yang bernama Zainal Abidin, pada tahun 1785 Pangeran Nuku dapat merebut kembali Tidore. Namun, dasar nasip lagi sial, Tidore dirongrong kembali oleh Putra Gila, menantu Putra Alam, sehingga pada tahun 1790 Tidore terlepas dari tangan Pange-ran Nuku. Lagi-lagi berkat bantuan Zainal Abidin akhirnya Tidore pada tahun 1795 dapat dikuasai lagi oleh Pangeran Nuku.
8. Ungkapan Penghubung
Ungkapan penghubung ada tiga macam, yaitu (1) penghubung intrakalimat, (2) penghu-bung antarkalimat dalam paragraf, dan (3) penghubung antarparagraf dalam karangan. Penghubung intrakalimat berfungsi memadukan gagasan dalam kalimat; penghubung antarkalimat berfungsi memadukan gagasan kalimat satu dengan kalimat lain dalam para-graf; penghubung antarparagraf berfungsi mengatur hubungan paragraf yang satu dengan paragraf yang lain dalam sebuah karangan.
8.1 Penghubung Intrakalimat
1. Penghubung setara (dalam kalimat majemuk setara) : dan, lalu, tetapi, atau, serta, kemudian, sedangkan, entah, baik ... maupun..., entah ... atau..., tidak ... tetapi ..., juga ..., dan sebaginya.
2. Penghubung tak setara (dalam kalimat majemuk bertingkat): ketika, karena, jika, agar, waktu, sebab, apabila, supaya, sebelum, setelah, lantaran, kalau, meskipun, sehingga, sambil, andaikata, walaupun, akibatnya, seraya, andaikan, sekalipun, dan sebagainya.
8.2 Penghubung Antarkalimat
Oleh karena itu, ... Sehubungan dengan itu, ...
Oleh sebab itu, ... Berkaitan dengan itu, ...
Dengan demikian, ... Bertalian dengan itu, ...
Jadi, ... Dalam hubungan dengan itu, ...
Dengan kata lain, ... Di samping itu, ...
Pendek kata, ... Selain itu, ...
Ringkasnya, ... Namun, ...
Kemudian, ... Sebaliknya, ...
Setelah itu, ... Akan tetapi, ...
Dengan demikian, ...
8.3 Penghubung Antarparagraf
Adapun ... Berpijak dari ... tersebut, ...
Pertama, ... Sehubungan dengan ... tersebut, ...
Ketiga, ... Berkaitan dengan ... tersebut, ...
Sementara itu, ... Bertalian denngan ... tersebut, ...
Berdasarkan ... tersebut, ... Dalam hubungan dengan ... tersebut, ...
Bertolak dari ... tersebut, ... Dalam kaitan denngan ... tersebut, ...
BAB VI
SEPUTAR PEMBUATAN KARYA TULIS
1. Manfaat dan Makna Pembuatan Karya Tulis
Manfaat pembuatan karya tulisadalah (1) pengungkapan diri, (2) pemahaman akan sesuatu, (3) kepuasan pribadi, kebanggaan, dan rasa harga diri, (4) peningkatan kesadaran dan penyerapan terhadap lingkungan sekeliling, (5) pelibatan diri dengan penuh semangat, dan (6) pemahaman dan peningkatan kemampuan menggunakan bahasa.
Sementara itu, kegiatan membuat karya tulis juga memiliki makna penting, di antaranya sebagai sarana (1) menemukan sesuatu, (2) melahirkan ide baru, (3) melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep atau ide, (4) melatih sikap objektif yang ada pada diri seseorang/sesuatu, (5) membantu menyerap dan memroses informasi, dan (6) melatih berpikir aktif, kreatif, dan kritis.
3. Modal Dasar Pembuatan Karya Tulis
Modal dasar yang terlebih dahulu harus dimiliki oleh seseorang dalam membuat karya tulis di antaranya (1) menguasai struktur kalimat, (2) mampu menciptakan perluasan kalimat, (3) mampu menentukan pilihan kata, (4) menguasai ejaan, (5) menguasai pungtuasi/tanda baca, (6) mampu menyusun paragraf/alinea, dan (7) menguasai/memahami masalah (bidang ilmu tertentu) yang akan dibahas dan dituangkan dalam karya tulis.
4. Bekal Pembuatan Karya Tulis
Apabila ingin dapat membuat karya tulis, seseorang harus banyak membaca dan tekun berlatih. Tanpa banyak membaca, seseorang tidak akan memperoleh atau menangkap ide-ide, gagasan, atau pengeta-huan yang berkembang dan tanpa banyak berlatih (menulis, mengarang) seseorang juga tidak akan dapat mewujudkan karya tulis.
5. Jenis Karangan
Secara garis besar ada lima jenis karangan (karya tulis), yaitu (1) eksposisi, (2) argumentasi, (3) persuasi, (4) deskripsi, dan (5) narasi. Eksposisi (paparan) bertujuan memberikan informasi, penjelasan, keterangan, dan pemahaman. Argumentasi (bahasan) bertujuan meyakinkan/membuktikan (dengan alasan tertentu) pendapat atau pendiri-an. Persuasi (imbauan) bertujuan mengajak/mempengaruhi sikap atau pendirian. Deskripsi (perian) bertujuan menggambarkan bentuk objek pengamatan, sifat, rasa, dan corak; dan dalam hal ini mengandalkan indera dalam uraian. Narasi bertujuan bercerita berdasarkan pengamatan atau rekaan. Namun, dalam praktiknya, di dalam karya tulis (dalam bentuk artikel, makalah, skripsi, tesis, disertasi, dll.) jenis-jenis karangan (wacana) itu sering digunakan secara bersama-sama. Atau dengan kata lain, hampir tidak ada karangan yang murni (yang hanya berisi narasi, argumentasi, persuasi, atau deskripsi saja).
6. Ciri-Ciri Karya Tulis yang Baik
Karya tulis selalu terdiri atas dua unsur penting, yaitu bentuk dan isi. Bentuk berkenaan dengan bahasa, isi berkenaan dengan materi yang terdapat di dalam karya tulis. Karya tulis yang baik selalu memperlihatkan beberapa ciri, di antaranya (1) berisi hal-hal yang bermanfaat, (2) cara pengungkapannya jelas, (3) terciptanya kesatuan dan pengorganisasian, (4) efektif dan efisien, (5) tepat dalam penggunaan bahasa, (6) ada variasi kalimat, (7) mengandung vitalitas, (8) cermat, dan (9) objektif.
7. Langkah-Langkah Pembuatan Karya Tulis
Langkah-langkah yang ditempuh di dalam menyusun karya tulis di antaranya (1) menentukan/merumuskan topik, (2) menentukan judul, (3) merumuskan masa-lah, (4) menentukan tujuan, (5) mengumpulkan bahan, sumber, acuan, (6) menyusun kerangka, (7) mengembangkan kerangka, (8) menulis naskah, (9) koreksi dan revisi.
8. Struktur Karya Tulis
Semua bentuk karya tulis, secara umum, baik yang pendek (artikel di koran/ majalah, makalah untuk seminar) maupun yang panjang (skripsi, tesis, disertasi, atau naskah penelitian), selalu terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu pembukaan/ pendahuluan, isi, dan penutup. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah judul dan daftar pustaka (jika perlu).
Judul. Judul hendaknya (1) jelas, (2) memiliki daya tarik yang kuat, (3) mencerminkan dengan tepat masalah yang dibahas, dan (4) pilihan katanya tepat, mengandung unsur-unsur utama yang dibahas.
Pembukaan/Pendahuluan. Bagian pendahuluan hendaknya (1) mampu mem-bangkitkan minat pembaca untuk terus membaca, (2) ada acuan (konteks) bagi permasalahan yang akan dibahas dengan menonjolkan hal-hal yang belum tuntas dibahas dalam karya tulis lain, (3) ada rumusan singkat tentang pokok masalah yang dibahas, dan (4) diung-kapkan pula tujuan pembahasan.
Isi. Bagian isi merupakan jembatan yang menghubungkan antara bagian pendahuluan dan bagian penutup. Bagian isi merupakan bagian yang paling penting dalam sebuah karya tulis. Bagian isi memuat pembahasan, analisis, dan pendirian penulis tentang permasalahan yang dibahas. Dalam bagian ini (juga bagian-bagian lain) hubungan antar-alinea/antarparagraf harus dijaga agar tetap padu/logis.
Penutup. Dalam bagian penutup dikemukakan (1) simpulan atau rangkuman, (2) diusahakan ada unsur “penyengat”, aspek tidak terduga, (3) klimaks, jika peng-ungkapannya kronologis, (4) ada aspek “open”, menekankan pertanyaan pokok yang tidak/belum terjawab, bersifat memancing, agar orang lain (pembaca) terangsang untuk mengerjakan sesuatu berdasarkan apa yang telah dijelaskan atau diuraikan.
Daftar Pustaka. Ada-tidaknya daftar pustaka bergantung keperluan.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwimarta, Sri Sukesi, dkk. 1978. Tata Istilah Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan.
Akhadiyah, Subarti dkk. 1996. Pembinaan Kemampuan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ali, Lukman. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Alimi, Anas Syahrul (peny.). 2003. Cetakan ketiga. Menulis Itu Indah: Pengalaman Pra Penulis Dunia. Terjemahan Ade Ma’rub. Yogyakarta: Jendela.
Alwi, Hasan et al. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
--------------- . 1996. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
--------------- . 1992. Bentuk dan Pilihan Kata. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Arifin, Zainal dan Farid Hadi. 1991. 1001 Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Akademika Presindo.
Aqip, Zainal. 2004. Karya Tulis Ilmiah bagi Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Yrama Widya.
Bird, Carmel. 2001. Menulis dengan Emosi; Panduan Empatik Mengarang Fiksi. Diterjemahkan oleh Eva Y. Nukman dari buku Dear Writer: Tha Classic Guide to Writing Fiction. Bandung: Kaifa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1997. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. (Edisi kedua, Cetakan II). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hasjim, Nafron. 1998. Komposisi dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Ende: Nusa Indah.
------------. 1982. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
-----------. 1982. Eksposisi dan Deskripsi. Ende: Nusa Indah.
-----------. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia: untuk Tingkat Pendidikan Menengah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Kridalaksana, H. 1975. Kamus Sinonim Bahasa Indonesia. (edisi ketiga). Flores: Penerbit Nusa Indah.
Marahimin, Ismail. 2001. Menulis secara Populer. Cetakan ketiga. Jakarta: Pustaka Jaya.
Moliono, Anton M. 2001. Bentuk dan Pilihan Kata. Jakarta : PT Gramedia.
Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran Berbahasa. Jakarta: PT Gramedia Putaka Utama.
Nursisto. 1999. Penuntun Mengarang. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 1997. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ramlan, M. 1981. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.
Rifai, Mien A. 1995. Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugiyono dkk. 2001. Paragraf: Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia: Jakarta: Pusat Bahasa.
Sugono, Dendy. 1989. Berbahasa Indonesia dengan benar. Jakarta: Priastu.
Tarigan, Djago. 1986. Membina Keterampilan Menulis Paragraf dan Pengembangannya. Bandung: Angkasa.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Widyamartaya, A. 1990. Seni Menuangkan Gagasan. Yogyakarta. Kanisius.
BUKU PANDUAN MENGAJAR
MATA KULIAH: BAHASA INDONESIA
OLEH:
SRI HARYATMO
BAB I
EJAAN DAN PENERAPANNYA
I. Pengertian Ejaan
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ejaan adalah seperangkat kaidah tulis-menulis yang meliputi kaidah penulisan huruf, kata, dan tanda baca.
1.2 Beberapa Ejaan Resmi yang Pernah Berlaku di Indonesia
1. Ejaan van Ophuysen
2. Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi
3. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
1.6 Pemakaian Huruf
1) Pemakaian Huruf Kapital
(1) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat dan petikan langsung.
(2) Huruf kapital dipakai sebagai ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
(3) Nama gelar kehormatan dan keagamaan yang diikuti nama orang beserta unsur nama jabatan dan pangkat.
Misalnya:
Mahaputra Yamin, Raden Ajeng Kartini, Nabi Ibrahim, Presiden Megawati, Jenderal Sutjipto, Haji Agus Salim
(4) Nama orang, nama bangsa, suku bangsa, bahasa, dan nama tahun, bulan, hari, hari raya, peristiwa sejarah, serta nama-nama geografi.
(5) Unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, dokumen resmi, serta nama buku, majalah, dan surat kabar.
Unsur singkatan nama gelar, pangkat, sapaan, dan nama kekerabatan yang dipakai sebagai sapaan.
Di samping yang telah disebutkan di atas, huruf kapital juga digunakan sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
Sehubungan dengan penulisan karya tulis, judul karya tulis, baik yang berupa laporan, makalah, skripsi, disertasi, kertas kerja, maupun jenis karya tulis yang lain, seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Selain itu, huruf kapital seluruhnya juga digunakan dalam penulisan hal-hal berikut:
(10) judul kata pengantar atau prakata;
(11) judul daftar isi;
(12) judul grafik, tabel, bagan, peta, gambar, berikut judul daftarnya masing-masing;
(13) judul daftar pustaka;
(14) judul lampiran.
Dalam hubungan itu, judul-judul subbab atau bagian bab huruf pertama setiap unsurnya juga ditulis dengan huruf kapital, kecuali yang berupa kata depan dan partikel seperti, dengan, dan, di, untuk, pada, kepada, yang, dalam, dan sebagai.
2) Pemakaian Huruf Miring atau Garis Bawah
- Huruf miring digunakan untuk menandai judul buku, nama majalah, dan surat kabar yang dipakai dalam kalimat.
- Huruf miring digunakan pula untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata.
Misalnya:
Kata-kata asing yang ejaannya belum disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia harus ditulis dengan huruf miring jika digunakan dalam bahasa Indonesia. berpadanan dengan kata Indonesia canggih.
1.7 Penulisan Gabungan Kata
Gabungan kata atau yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah.
Misalnya:
Baku Tidak Baku
tanda tangan tandatangan
tanggung jawab tanggungjawab
Berbeda dengan itu, gabungan kata yang maknanya sudah dianggap padu unsur-unsurnya ditulis serangkai.
Baku Tidak Baku
acapkali acap kali
daripada dari pada
Gabungan kata lain yang salah satu unsurnya berupa unsur terikat ditulis serangkai. Unsur terikat yang dimaksud, misalnya, pasca-, antar-, panca-, nara-, dan pramu-. Beberapa contoh penulisannya dapat diperhatikan di bawah ini.
Unsur Terikat Baku Tidak Baku
pasca- pascaperang pasca perang
pascasarjana pasca sarjana
Kata bilangan yang berasal dari bahasa Sanskerta juga dipandang sebagai unsur yang terikat. Oleh karena itu, penulisannya pun harus diserangkaikan dengan unsur yang menyertainya.
Misalnya:
Unsur Terikat Baku Tidak Baku
dwi- dwifungsi dwi fungsi
dwiwarna dwi warna
tri- tridarma tri darma
triwulan tri wulan
1.8 Penulisan Bentuk Ulang
Dalam penulisan bentuk ulang, bagian-bagian kata yang diulang ditulis seluruhnya secara lengkap dengan disertai tanda hubung di antara unsur-unsur yang diulang..
Misalnya:
Baku Tidak Baku
macam-macam macam2
hambatan-hambatan hambatan2
Dalam hubungan itu, perlu diperhatikan bahwa angka dua sebagai
Sejalan dengan hal tersebut, bentuk-bentuk di bawah ini, yang lazim disebut kata ulang semu, juga ditulis secara lengkap dengan menyertakan tanda hubung.
Misalnya:
Baku Tidak Baku
kura-kura kura2, kura kura
paru-paru paru2, paru paru
1.9 Penulisan Kata Depan
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya kecuali dalam gabungan kata, seperti kepada dan daripada. Jika di dan ke berupa awalan maka ditulis serangkai dengan kata dasarnya, seperti kata dikelola dan ketujuh.
1.7 Penulisan Singkatan dan Akronim
Singkatan ialah kependekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik dilafalkan huruf demi huruf maupun dilafalkan sesuai dengan bentuk lengkapnya.
SMP [es-em-pe]
UGM [u-ge-em]
Akronim ialah kependekan yang berupa gabungan hurf awal, gabungan suku kata, atau gabungan huruf awal dan suku kata, yang ditulis dan dilafalkan seperti halnya kata biasa.
Misalnya:
siskamling sistem keamanan lingkungan
tilang bukti pelanggaran
inpres instruksi presiden
Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional
1.8 Penggunaan Tanda Baca
Pedoman Umum EYD mengatur pemakaian tanda-tanda baca berikut:
1) tanda titik .
2) tanda koma ,
3) tanda titik koma ;
4) tanda titik dua :
5) tanda hubung -
6) tanda pisah --
7) tanda elepsis …
8) tanda tanya ?
9) tanda seru !
10) tanda kurung ( )
11) tanda kurung siku [ ]
12) tanda petik “ “
13) tanda petik tunggal ‘ ‘
14) tanda garis miring /
15) tanda penyingkat/ apostrof ‘
2) Tanda Titik
Tanda titik selain digunakan untuk mengakhiri kalimat, digunakan pula sebagai pembatas unsur-unsur dalam penulisan daftar pustaka.
Contoh:
(1) Angka pengangguran setiap tahun terus meningkat.
(4) Mustakim. 1992. Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia: untuk Umum. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tanda titik digunakan pula di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar.
Contoh:
B. Program Usaha
3. Tahap Persiapan Program
3.1 Penerimaan Warga Belajar
3.2 Pemilihan Penyelenggara
Penulisan angka yang menyatakan ‘jumlah’ juga wajib menggunakan tanda titik pada setiap bilangan ribuan dan kelipatannya.
Misalnya:
penduduknya 75.564.543 jiwa
Rp89.500,00
Penggunaan tanda titik pada setiap bilangan ribuan dan kelipatannya itu dimaksudkan untuk mempermudah penghitungan.
Berbeda dengan itu, angka yang tidak menyatakan ‘jumlah’ tidak ditulis dengan tanda titik, misalnya angka yang digunakan sebagai nomor halaman buku, nomor telepon, atau nomor induk.
Contoh:
halaman 1564
telepon 8804781
NIP 131947332
3) Tanda Koma
Tanda koma selain digunakan untuk memisahkan bagian yang satu dana bagian yang lain dalam kalimat majemuk setara, juga untuk mengapit keterangan tambahan atau keterangan penjelas, dan membatasi unsur-unsur rincian.
Contoh:
(1) Perusahaan itu belum terkenal, tetapi produksinya banyak diperlukan orang.
(2) Benazir Bhutto, mantan Perdana Menteri Pakistan, mengancam akan menggerakkan massa kembali.
(5) Barang-barang elektronik yang dipamerkan adalah radio, televisi, tape recorder, dan lain-lain.
Seperti pada contoh tersebut, kata tetapi (1), yang menandai kalimat majemuk setara, selalu didahului tanda koma. Kemudian, unsur mantan Perdana Menteri Pakistan pada kalimat (2), yang merupakan keterangan aposisi, juga diapit tanda koma seperti halnya keterangan tambahan atau keterangan penjelas. Pada kalimat (3) tanda koma digunakan sebagai pembatas unsur rincian, yang masing-masing adalah radio, televisi, dan tape recorder.
Tanda koma digunakan pula sebagai pembatas antara unsur ungkapan penghubung antarkalimat dan bagian kalimat yang mengikutinya.
Contoh:
Sehubungan dengan itu, …
Berdasarkan hal tersebut, …
Oleh karena itu, …
3) Titik Koma
Tanda titik koma digunakan untuk mengakhiri peryatakan perincian dalam kalimat, yang berupa kata atau kelompok kata.
Contoh:
Syarat-syarat menjadi seorang guru yaitu
g. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
h. berkewarganegaraan Indonesia;
i. berijazah pendidikan guru;
j. berbadan sehat;
k. mendapat surat pengangkatan sebagai guru;
l. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
4) Titik Dua
Tanda titik dua digunakan pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti pemerian.
Contoh:
(1) Sekretariat memerlukan beberapa peralatan: lemari, komputer, dan meja.
(2) Kantor akan membeli perabot rumah tangga: kursi tamu dan lemari.
Tanda titik dua digunakan sesudah ungkapan atau kata yang memerlukan pemerian.
Contoh:
Ketua : Sulistyo, S.Akt.
Sekretaris : Luthfi, S.I.P.
Bendahara : Siti Nurlaila, S.E.
Tanda titik dua digunakan (a) di antara jilid atau nomor dan halaman dan (b) di antara bab dan ayat dalam kitab suci.
Contoh:
Tempo, I (1971), 34: 8
Surah Yusuf: 2
5) Tanda Hubung
Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan (a) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (b) ke- dengan angka, (c) angka dengan –an, (d) singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan (e) merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing.
Contoh:
se-Kabupaten Purworejo se-Indonesia
hadiah ke-2 tahun 50-an
hari-H sinar-X
mem-PHK-kan pen-tackle-an
6) Tanda Kurung
Tanda kurung digunakan untuk mengapit keterangan atau penjelasan.
Contoh:
Bagian Perencanaan telah selesai menyusun DIK (Daftar Isisan Kegiatan ) kantor itu.
Tanda kurung digunakan untuk mengapit angka atau huruf yang memerinci suatu urutan keterangan
Contoh:
Faktor produksi menyangkut masalah (a) alam, (b) tenaga kerja, dan (c) modal.
7. Garis Miring
Tanda garis miring digunakan di dalam nomor surat dan nomor pada alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim.
Contoh:
No. 7/PK/1988
Jalan Kramat III/10
Tahun Anggaran 1988/ 1989
Tanda garis miring digunakan sebagai pengganti kata atau, dan tiap.
Contoh:
dikirim lewat darat/ laut.
harganya Rp25000,00/ eksemplar
0 komentar:
Posting Komentar