Pengenalan Tanaman
Nyamplung merupakan tanaman yang banyak tumbuh di sepenjang pantai di seluruh Indonesia. Tanaman nyamplung atau nama latinnya Calophyllum inophyllum L. merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Timur dan Pantai India tetapi banyak tumbuh di daerah tropis khususnya di negara kepulauan sekitar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Tanaman nyamplung termasuk ke dalam famili mangosteen seperti halnya tanaman manggis.
Beberapa nama daerah dari tanaman nyamplung adalah Sumatrera : Eyobe (Enggano), Punaga (Minangkabau), Penago (Lampung), Nyamplung (Melayu), Jawa : Nyamplung (Jawa Tengah), Nyamplung (Sunda), Camplong (Madura), Bali : Camplong (Bali), Nusa Tenggara : Mantan )Bima), Camplong (Timor), Sulawesi : Dingkalreng (Sangir), Dongkalan (Mongondow), Dunggala (Gorontalo), Ilambe (Buol), Punaga (Makassar), Pude (Bugis), Maluku : Hatan (Ambon), Fitako (Ternate). Nama di Negara lain adalah Alexandrian laurel, Borneo mahagony (Inggris), Palomaria dela Playa, Pamitaogen, bintaog (Philipina), Kathing (Thailand), Mu-u, cong (Vietnam), Penaga (Sabah), Penaga Laut (Malaysia). Mentangor, bakokol (Serawak).
Pohon nyamplung adalah tumbuhan berukuran medium dengan tinggi pohon bisa mencapai 8-20 meter bahkan ada yang mencapai 30-35 meter. Tinggi batang bebas cabang mencapai 21 meter dengan diameter mencapai 0.8 meter. Batang pohon berwarna abu-abu hingga putih dengan percabangan mendatar. Akar tunggang, bulat dan coklat (Martawijaya et al, 2005)
Daun nyamplung merupakan daun tunggal, berbentuk oval dengan ujung meruncing, tebal dan berwarna hijau tua mengkilap serta tidak berbulu. Bunga nyamplung biasanya muncul diketiak, umumnya tidak bercabang tetapi kadang-kadang bercabang yang terdiri dari 3 bunga pada setiap cabangnya, Bunga nyamplung berwarna putih dengan diameter 2 cm, jumlah kelopak empat buah, memiliki benang sari banyak, tangkai putik membengkok, kepala putik bentuk perisai (Friday and Okano, 2006).
Buah nyamplung berbentuk seperti peluru dengan ujung berbentuk lancip dengan panjang 25-50 mm. Kulit luar buah berwarna hijau selama masih bergantung di pohon dan berubah menjadi kekuningan atau kecoklatan setelah matang. Daging buah tipis dan lambat laun akan menjadi keriput, rapuh dan mengelupas dimana di dalamnya terdapat sebuah inti berwarna kuning terutama jika sudah dijemur (Heyne, 1987). Biji nyamplung berukuran cukup besar dengan ukuran diameter 2-4 cm. Biji nyamplung dapat diperoleh dengan membersihkan kulit dan sabut dari biji nyamplung. Dalam setiap 1 kg terdapat 100-200 biji nyamplung (Friday and Okano, 2006). Morfologi tanaman nyamplung (pohon, kulit, bunga, buah dan biji) dapat di lihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi Tanaman Nyamplung
Tanaman nyamplung umumnya tumbuh di daerah pantai ataupun hutan dataran rendah. Namun demikian tanaman ini juga dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan ketinggian sedang. Tanaman ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap berbagai jenis tanah, pasir, lumpur maupun tanah yang telah mengalami degradasi. Sedangkan menurut Martawijaya et al. (1981), tanaman nyamplung tumbuh di hutan tropis dengan curah hujan A dan B pada tanah berawa dekat pantai sampai pada tanah kering berbukit-bukit pada ketinggian 800 m dari permukaan laut. Kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman nyamplung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi Lingkungan untuk Pertumbuhan Nyamplung
No | Parameter | Kondisi yang sesuai |
1 | Iklim | Suhu sedang sampai basah dan tidak cocok pada kondisi sangat dingin |
| - Ketinggian | 0-800 m dpl |
| - Curah hujan | 1000-5000 mm |
| - Lama musim kering | 5 bulan |
| - Suhu maksimum | 370 C |
| - Suhu minimum | 120 C |
| - Suhu rata-rata | 330 C |
2 | Tanah | Tumbuh baik pada tanah berpasir dengan hujan yang cukup tetapi toleran terhadap tanah lempung (clay), tanah berbatu (rocky soil), tanah yang dangkal (shallow) dan tanah asin (saline soil) |
| - Tekstur tanah | Toleran pada tanah berpasir, sandy loams dan sandy clay loams |
| - Drainase tanah | Toleran pada drainase buruk |
| - Keasaman | pH 4,0-7,4 |
3 | Toleransi kondisi ekstrim | Merupakan pohon keras yang tumbuh di daerah pantai, toleran terhadap air garam, angin dan kekeringan |
| - Kekeringan | Toleran terhadap kemarau selama 5 bulan |
| - Sinar matahari | Lebih cocok pada daerah dengan sinar matahari penuh dan dapat tumbuh baik pada daerah teduh |
| - Pembekuan | Tidak toleran terhadap kondisi beku |
| - Waterlogging | Toleran terhadap kondisi dikelilingi air |
Sumber : Friday and Okano( 2006)
Tanaman nyamplung dapat diperbanyak secara alami dengan menggunakan biji. Biji yang akan digunakan untuk perbanyakan tanaman harus disiapkan 6 bulan sebelum penanaman. Biji yang berjatuhan dikumpulkan dari sekitar pohon nyamplung yang berbuah dua kali dalam setahun. Selanjutnya buah tersebut disimpan dan dibuang sabutnya. Proses germinasi dapat dipercepat dengan merendam biji nyamplung selama 24 jam untuk menghilangkan kulit biji kemudian kulit biji dipecahkan dengan bantuan palu agar proses germinasi lebih cepat. Proses germinasi umumnya berlangsung selama 57 hari bila biji tidak dipecahkan dan selama 38 hari bila sudah dipecahkan lebih dahulu. Proses germinasi harus berada di tempat yang diberi naungan . Setelah 20-24 minggu setelah germinasi, tanaman nyamplung siap dipindahkan dan ditanam di lapang. Media yang digunakan untuk proses pembibitan (Gambar 2) adalah media apa saja yang memiliki kemampuan drainase yang baik.
Gambar 2. Bibit nyamplung pada berbagai tingkat umur
Pohon nyamplung yang sudah besar dapat di potong dahan dan rantingnya dan akan tumbuh kembali. Pada awal pertumbuhannya, pohon nyamplung akan tumbuh dengan cepat mencapai satu meter per tahunnya, namun setelah berbunga pertumbuhannya akan melambat.
Pola Penyebaran Tanaman Nyamplung di Indonesia dan Potensinya
Tanaman nyamplung mempunyai sebaran yang cukup luas di Indonesia, mulai dari Sumatra (Sumatra Barat, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung), Jawa (sepanjang pantai selatan terutama di Kabupaten Cilacap, Purworejo dan Kebumen), Kalimantan (Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah), Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur sampai Papua. Menurut Dephut (2008) hasil penafsiran dari Citra Satelit Landsat7 ETM+tahun 2003 tegakan alami tanaman Nyamplung mencapai luas 480.000 ha (60 % berada dalam kawasan hutan).
Tanaman nyamplung saat ini masih merupakan tanaman alami dan bukan hasil budidaya. Satu-satunya hutan nyamplung yang dikelola dengan profesional ada di Perum Perhutani Unit I KPH Kedua Selatan Jawa Tengah yang luas pertanaman nyamplung mencapai 196 hektare. Pada tahun 2009 ini, luas hutan nyamplung akan ditingkatkan menjadi 600 hektar. Menteri Kehutanan juga menyebutkan akan menanam 3 juta pohon nyamplung di luasan 3000 hektar sepanjang pesisir pantai diantaranya di Banten dan Cilacap.
Tanaman nyamplung tumbuh pada tanah berawa dekat pantai sampai pada tanah kering dan regosol di bukit-bukit dengan ketinggian tempat 100-150 m di atas permukaan laut, topografi datar sampai bergelombang dengan tipe curah hujan A dan B dengan curah hujan 2,959 mm. Jenis tanah Podsolik Merah kuning dengan bahan induk sedimen tersier, asam kresik dan batuan basah (Martawijaya et al. 2005 ; Rostiwati, 2007). Gambar 2. Memperlihatkan peta penyebaran tegakan nyamplung di Indonesia.
Gambar 2. Peta sebaran tegakan nyamplung di Indonesia
Menurut Mahfudz, (2008) bila tanaman nyamplung umur 3 tahun sudah dapat berbuah dan apabila dalam satu tangkai nyamplung menghasilkan 1 kg buah maka dalam satu pohon yang diasumsikan rata-rata ada 100 tangkai maka satu pohon tanaman nyamplung menghasilkan 100 kg buah nyamplung atau akan menghasilkan 100 ton buah nyamplung pada lahan seluas satu ha dengan jarak tanam 3 m x 3 m. Bila rendemen buah nyamplung untuk biodiesel 2 %, maka 1 ha tanaman nyamplung akan menghasilkan 2200 liter minyak untuk biodiesel yang setara dengan 4400 liter minyak tanah.
Biji nyamplung mempunyai kadar minyak 71,4 % sampai 75 %. Menurut Heyne (1987), inti biji mengandung air 3,3 % dan minyak 71,4 % bila biji segar mengandung 55 % minyak sedangkan biji yang benar-benar kering mengandung 70,5 % minyak.
Pemanfaatan Saat Ini
Tanaman nyamplung saat ini dimanfaatkan mulai dari batang sebagai penghasil kayu komersial, getahnya sebagai bahan baku minyak bahkan hasil penelitian terakhir getah dari kulit kayunya menekan pertumbuhan virus HIV. Daunnya dapat berkasiat sebagai obat sakit encok, bahan kosmetik dan menyembuhkan luka bakar karena kandungan senyawa costatolide-A, saponin dan acid hydrocyanic. Bunganya sebagai pencampur untuk mengharumkan minyak rambut. Minyak yang berasal dari bijinya dapat dipakai sebagai penerangan, pembuatan sabun, pelitur, minyak rambut, minyak urut dan obat. Tanaman nyamplung disamping sebagai pohon hias dan peneduh, juga digunakan pada reforestasi dan afforestasi (Dephut, 2008).
Tanaman nyamplung selain digunakan sebagai tanaman pelindung di pinggir pantai karena tajuknya yang rimbun juga dimanfaatkan batang kayunya yang kuat dan keras sebagai bahan bangunan atau bahan pembuat kapal, dayung, tiang listrik, tong dan pemukul golf (Martawijaya et al., 1981). Bijinya menghasilkan minyak yang kental dan berwarna kehitaman digunakan sebagai obat untuk menumbuhkan rambut. Bahan aktif yang ada pada minyak tersebut dipercaya dapat meregenerasi jaringan tubuh sehingga digunakan sebagai bahan kosmetik ataupun untuk kesehatan karena memiliki kemampuan anti bakteri, anti kanker dan anti pembengkakan serta anti virus (Heyne, 1987).
Tanaman nyamplung memiliki banyak manfaat terutama yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan. Menurut Friday and Okano (2006), nyamplung dapat dimanfaatkan sebagai penstabil tanah daerah pantai, pemecah angin. Tanaman pelindung atau peneduh, Tanaman pembatas pada kuil atau tempay suci di Pasific, serta tanaman penghias taman.
Pemanfaat lain dari biji nyamplung saat ini, oleh gudang kreasi yogya membuat gantungan kunci yang dikombinasikan dengan berbagai macam bahan-bahan natural dan daur ulang lainnya. Di darah Pasific, kayu nyamplung juga banyak dijadikan kerajinan tangan atau cendera mata.
Adapun pohon industri dari tanaman nyamplung dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Prospek Pemanfaatan sebagai Bahan Baku Bioenergi
Pemanfaatan tanaman Nyamplung sebagai biodiesel pertama kali diperkenalkan oleh Fathur Rahman dan Aditya Prabhaswara dari SMAN 6 Yogyakarta pada Lomba Karya Tulis SMA Wisata Iptek 2007 yang diadakan oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Hasil penelitian mereka menunjukkan kandungan minyak tanaman Nyamplung 50-70 % dan mempunyai daya bakar selama 11,3 menit , dua kali lebih besar dari m. tanah yang hanya 5,6 menit (Suprapto, 2008). Kebutuhan minyak nyamplung untuk mendidihkan air hanya 0,4 ml sementara minyak tanah 0,9 ml (Dephut, 2008), hal ini sangat menjanjikan di masa yang akan datang sebagai bahan subsitusi minyak yang berasal dari fosil.
Jika diasumsikan 2,5 kg biji nyamplung akan menghasilkan 1 liter minyak nyamplung dibandingkan dengan jarak butuh 4 kg untuk menghasilkan 1 liter minyak jarak maka untuk memenuhi kebutuhan biodiesel tahun 2025 sebanyak 720.000 kilo liter (5,1 juta ton biji nyamplung) dibutuhkan paling kurang 254.000 ha tanaman nyamplung, jumlah ini hampir setengah dari luasan yang ada sekarang sehingga harapan menjadikan bahan biodiesel terbuka lebar. Pengolahan biji nyamplung sebagai bahan baku biodiesel selain hemat dalam proses pembakaran, sumbernya dapat diperbaharui sehingga tidak mengganggu ekologi.
Inti (kernel) nyamplung memiliki kandungan minyak yang sangat tinggi yaitu sebesar 75% (Dweek and Meadows, 2002); 71,4% pada inti yang kering dengan kadar air 3,3%(Heyne, 1987); 40-73% (Soerawidjaja et al., 2005); 55,5% pada inti yang segar dan 70,5% pada inti yang kering (Greshoff dalam Heyne, 1987). Produksi biji nyamplung dapat mencapai 100 kg per pohon (Dweek and Meadows, 2002; Friday and Okano, 2006). Ekstraksi minyak dari biji nyamplung dapat dilakukan dengan pengepresan atau menggunakan pelarut. Pada proses pengepresan dari 100 kg buah dihasilkan 17,5 kg minyak atau sekitar 17,5% dari bobot biji atau 48,6% dari bobot inti kering (Sahirman, 2009) Rendemen ini relatif masih rendah dibandingkan menggunakan pelarut hexan dengan metode soxhlet yang mencapai 61,2 %.
Minyak nyamplung yang dihasilkan dari proses pengepresan umumnya berwarna kehijauan dengan kadar asam lemak bebas yang tinggi mencapai 30% sehingga untuk dijadikan biodiesel harus diberi perlakuan pendahuluan terlebih dahulu seperti proses degumming dan esterifikasi.
Secara umum pembuatan biodiesel dari nyamplung adalah penghilangan buah dan tempurung, pengukusan, pemisahan getah (degumming) dengan as. Fosfat 1 % dan esterifikasi dengan methanol 20 : 1 (perbandingan mol methanol dengan as. Lemak bebas) serta transesterifikasi (perbandingan methanol dengan minyak 6:1). Jika hasil yang diperoleh tidak memenuhi SNI (nilai viskositas, densitas dan keasaman) maka dilakukan proses netralisasi dengan menggunakan NaOH sesuai dengan molar asam lemak bebas tersisa
Beberapa penelitian pembuatan biodiesel dari tanaman nyamplung telah dilakukan diantaranya adalah Yudistira (2008) membuat biodiesel dari minyak nyamplung dan methanol dengan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa (NaOH) dengan perbandingan antara minyak nyamplung dengan methanol perbandingan 1 : 4, 1 : 6 dan 1 : 8 serta dengan dan tanpa reaksi netralisasi. Proses pengukusan membutuhkan waktu yang lama dan pemisahan getah dilakukan dengan konsentrasi yang tinggi karena biji nyamplung mengandung banyak zat ekstraktif.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sudrajat et al. (2007) membuat biodiesel dari biji nyamplung dengan perlakuan pendahuluan proses degumming, proses esterifikasi dan proses transesterifikasi. Kondisi optimum dicari pada penggunaan rasio mol methanol-FFA, persen asam klorida sebagai katalis dan suhu esterifikasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan proses esterifikasi minyak nyamplung yang optimum diperoleh pada suhu 600C dan rasio mol methanol-FFA 20:1 dengan lama reaksi 1 jam dengan kecepatan pengadukan 400 rpm. Pada kondisi tersebut mampu menurunkan bilangan asam dari 28,7 % menjadi 4,7 %. Biodiesel yang dihasilkan mempunyai kualitas yang belum stabil dengan bilangan asam berkisar 0,6172-1,8403 mg KOH/gram dan viskositas pada suhu 400C adalah 8,1-8,4 cp (8,67-8,99 cSt). Komposisi metal ester biodiesel tersebut adalah metal palmitat 17,29 %, metal stearat 23,55 %, metal oleat 36,67 % dan metal linoleat 22,49%.
Sahirman (2009) juga melakukan perancangan proses produksi biodiesel dari biji nyamplung dimana proses degumming sangat menentukan kualitas dari minyak nyamplung Poses degumming dilakukan pada suhu 800C selama 15 menit dan dilanjutkan dengan pencucian mengunakan air hangat pada suhu 600C sampai jernih. Warna minyak yang semula kehijauan berubah menjadi kuning kemerahan.
Karakteristik, komposisi asam lemak minyak nyamplung dibandingkan minyak nabati lainnya dan karakteristik biodiesel nyamplung dibandingkan Standar ASTM D 6751-3 dan SNI 04-7182-2006 dapat dilihat pada Tabel 3, 4 dan 5.
Tabel 3. Karakteristik Minyak Nyamplung
Jenis Analisis | Satuan | Hasil |
| % | 0,25 |
| G/ml | 0,944 |
| Cp | 21,97 |
| mg KOH/g | 59,94 |
| % | 29,53 |
| mg KOH/g | 198,1 |
| Mg/g | 86,42 |
Hasil pengujiaan biodiesel nyamplung yang dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan menghasilkan : (1) seluruh parameter kualitas telah sesuai dengan kualifikasi biodiesel menurut SNI 04-7182-2006 dengan rendemen konversi as. Lemak bebas (FFA) menjadi metal ester 97,8 %. (2) uji kelayakan atas kinerja permesinan, biodiesel nyamplung dapat digunakan untuk kendaraan bermotor sebesar 100 %, tanpa campuran solar (B 100), (3) dari segi lingkungan, biodiesel nyamplung bebas dari polutan (Sumutcyber.com, 2008).
Tabel 4. Komposisi Asam Lemak Minyak Nyamplung Dibandingkan Minyak Nabati Lainnya
Komponen | Minyak Nyamplung | Minyak Jarak Pagar | CPO | Minyak Kedele |
Asam miristat | 0,09 | - | 0,7 | 0,1 |
Asam palmitat | 15,89 | 11,9 | 39,2 | 10,2 |
Asam stearat | 12,30 | 5,2 | 4,6 | 3,8 |
Asam oleat | 48,49 | 29,9 | 41,4 | 22,8 |
Asam linoleat | 20,70 | 46,1 | 10,5 | 51,0 |
Asam lonolenat | 0,27 | 4,7 | 0,3 | 6,8 |
Asam arachidat | 0,94 | - |
| 0,28 |
Asam erukat | 0,72 | - |
| 0,2 |
Sumber Sudrajat, 2007.
Tabel 5. Karakteristik Biodiesel Nyamplung Dibandingkan Standar ASTM D 6751-3 dan SNI 04-7182-2006
No | Parameter | Satuan | Metode Uji | Nilai | Biodiesel Nyamplung |
1 | Massa jenis pada 400C | Kg/m3 | ASTM D 1298 | 850-890 | 888,6 |
2 | Viskositas kinematik pada 400C | mm2/s | ASTM D445 | 2,3-6,0 | 7,724 |
3 | Bilangan setana | - | ASTM D 613 | Min 51 | 51,9 |
4 | Titik nyala (mangkuk tertutup) | 0C | ASTM D 93 | Min 100 | 151 |
5 | Titik kabut | 0C | ASTM D 2500 | Maks 18 | 38 |
6 | Korosi kepingan tembaga (3 jam pada 500C) | - | ASTM D 130 | Maks 3 | 1 b |
7 | Residu karbon - Dalam contoh asli - Dalam 10% ampas destilasi |
% massa | ASTM D 4530 |
- Maks 0,05 - Maks 0,3 |
- 0,434 |
8 | Air dan sedimen | % volume | ASTM D 1796 | Maks 0,05 | 0 |
9 | Suhu distilasi 90 % | 0 C | ASTM D 1160 | Maks 360 | 340 |
10 | Abu tersulfatkan | % massa | ASTM D 874 | Maks 0,02 | 0,026 |
11 | Belerang | ppm-m | ASTM D 1266 | Maks 100 | 16 |
12 | Fosfor | ppm-m | ASTM D 1091 | Maks 10 | 0,223 |
13 | Bilangan asam | mg-KOH/ gram | AOCS Cd 3d-63 | Maks 0,8 | 0,96 |
14 | Gliserol total | % massa | AOCS Ca 14-56 | Maks 0,24 | 0,232 |
15 | Kadar ester alkil | % massa | SNI 04-7182-2006 | Min 96,5 | 96,99 |
16 | Bilangan Iodium | % massa | AOCS Cd 1-25 | Maks 115 | 85 |
Sumber : Sahirman (2009)
Daftar Pustaka
Departemen Kehutanan (Dephut), 2008. Tanaman Nyamplung sebagai Sumber Energi Bofuel. Www. Indonesia.go.id [Diakses tanggal Maret 2009].
Dweek, A.C, and Meadows, T. 2002. Tamanu (Callophylum inophyllum) the Africa, Asia Polynesian and Pasific Panacea. Int J. Cos. Sci, 24:1-8.
Friday, J.B. and Okano, D. 2006. Callophyllum inophyllum (kamani) Species Profiles for Pasific Island Agro Forestry. http://www.traditionaltree.org akses tanggal 23 Maret 2009.
Gudang Kreasi Yogya, 2008. Katalog Produk: Gantungan Kunci Nyamplung. http://gudangkreasi.indonetwork.co.id/964659/gantungan-kunci-nyamplung.htm [Diakses tanggal 30 Maret 2009]
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Mahfuds, 2008. Potensi Pengembangan Nyamplung. “Potensi dan Peluang Nyamplung sebagai Bahan Baku Biodiesel di Indonesia”. Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jogjakarta. http://fudz1.multiply.com/journal/item/4 [Diakses tanggal 30 Maret 2009].
Martawijaya,A.,I.Kartasujana, K.Kadir dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.
Rostiwati, T., Yetti, H., Yamin M. 2007. Upaya Penanaman Nyamplung (Callophyllum spp) sebagai Pohon Potensial Penghasil HHBK. Mitra Hutan Tanaman. Vol. 2 No. 2, Oktober.Pp. 34-41.
Sahirman. 2009. Perancangan Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suara Merdeka, 2008. Nyamplung BBN yang Potensial.
Sudrajat,R., Sahiman, D.Setiawan., 2007. Pembuatan Biodiesel dari Biji Nyamplung. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 25 No. 1, Februari, pp. 41-56.
Sumutcyber.com, 2008. Biji Nyamplung jadi Biofuel.
Suprapto, H., 2008. Biji Nyamplung Bisa Jadi Energi Alternatif. www.economy.okezone.com. [ Diakses tanggal 19 Maret 2009].
Yudistira, P. H., 2008. Pembuatan Biodiesel dari Biji Nyamplung (Callophylum inophyllum) dengan Proses Transesterifikasi. Undergraduate Theses, Chemical Engineering RSK 662.88 Han. P. 2007. ITS Library.
0 komentar:
Posting Komentar